..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Pajak Orang Pribadi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pajak Orang Pribadi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 Agustus 2016

Jenis Asuransi Yang Harus Dilaporkan Sebagai Harta

Saat ini hampir seluruh masyarakat di Indonesia sangat antusias dengan Program Amnesti Pajak (Pengampunan Pajak) yang sedang berjalan. Antusiasme yang timbul dari masyarakat untuk mengikuti Program Amnesti Pajak ini adalah akibat masih banyaknya Wajib Pajak yang kurang melaporkan harta yang dimilikinya dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi mereka. Akibat dari kurang dilaporkannya harta di dalam SPT tersebut dapat mengakibatkan bahwa Wajib Pajak tersebut akan dianggap kurang melaporkan penghasilannya apabila suatu saat nanti diketemukan adanya harta yang belum dilaporkan oleh pihak aparat pajak (fiskus).

Kekurangan pelaporan harta yang dilakukan oleh Wajib Pajak ini sebagian mungkin disebabkan oleh faktor kesengajaan dari Wajib Pajak sendiri untuk tidak melaporkan hartanya karena berniat untuk menyembunyikan penghasilannya supaya tidak dikenakan pajak, atau dapat juga disebabkan karena adanya faktor ketidakmengertian dari Wajib Pajak akan kriteria dan definisi harta yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Pembayaran Asuransi Sebagai Harta

Beberapa waktu ini Penulis banyak sekali mendapatkan pertanyaan dari Pembaca Setia Tax Learning mengenai apakah asuransi yang mereka miliki adalah termasuk sebagai harta dan harus dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi pada bagian Harta. Karena ternyata saat ini hampir sebagian besar Wajib Pajak tidak menyadari bahwa ada jenis asuransi yang dimilikinya tersebut adalah merupakan harta dan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.

Pada tulisan berikut ini, penulis akan mengulas mengenai jenis asuransi apakah yang dapat dikategorikan sebagai harta dan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Penegasan Asuransi sebagai Harta

Memang dalam petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, tidak menjelaskan mengenai definisi harta, namun hanya mencontohkan jenis-jenis harta. Sejak tahun pajak 2014, barulah dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2014 ditetapkan adanya kelompok-kelompok harta berdasarkan kode harta yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014. Namun kelompok-kelompok harta yang ditetapkan ini juga tidak menyebutkan adanya harta yang berupa asuransi. Sehingga biasanya jika ada harta berbentuk asuransi, oleh Penulis dikelompokkan ke dalam kode harta 039 yaitu Investasi Lainnya.

Jenis-Jenis Asuransi

Berdasarkan penelusuran Penulis dari beberapa artikel di internet, jenis-jenis asuransi yang ada terdiri dari (sumber: https://www.cermati.com/artikel/jenis-jenis-asuransi-di-indonesia-apa-saja, http://www.artikel.web.id/asuransi/jenis-jenis-asuransi-di-indonesia.html dan https://www.cermati.com/artikel/asuransi-jiwa-terbaik-apa-dan-bagaimana-memilihnya):

1. Asuransi Jiwa

Asuransi Jiwa terbagi menjadi jenis asuransi yang akan memberikan pembayaran pada saat tertanggung meninggal dunia atau jenis asuransi yang memungkinkan tertanggung untuk mengklaim dana sebelum meninggal dunia.

2. Asuransi Kesehatan

Asuransi kesehatan merupakan produk asuransi yang menangani masalah kesehatan tertanggung karena suatu penyakit serta menanggung biaya proses perawatan. Umumnya, penyebab sakit tertanggung yang biayanya dapat ditanggung oleh perusahaan asuransi adalah cedera, cacat, sakit, hingga kematian karena kecelakaan.

3. Asuransi Kendaraan

Asuransi kendaraan adalah jenis asuransi untuk perlindungan kendaraan bermotor dari risiko kehilangan, kerusakan mobil tertanggung maupun mobil pihak ketiga yang diakibatkan oleh mobil tertanggung.

4. Asuransi kepemilikan Rumah Dan Properti

Asuransi jenis ini akan memberikan perlindungan kepada pemilik rumah untuk melindungi diri dan aset miliknya yang bisa berupa rumah atau properti pribadi. Asuransi ini memberikan proteksi terhadap kehilangan atau kerusakan yang mungkin terjadi pada barang-barang tertentu milik pribadi tertanggung. Asuransi ini juga melindungi dan memberikan keringanan bilamana rumah atau properti tertanggung lainnya mengalami musibah seperti kebakaran.

5. Asuransi Pendidikan

Asuransi jenis ini akan memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik terutama pada aset pendidikan anak. Biaya premi yang harus dibayarkan tertanggung kepada perusahaan asuransi berbeda-beda sesuai dengan tingkatan pendidikan yang ingin didapatkan nantinya.

6. Asuransi Bisnis

Asuransi ini merupakan layanan proteksi terhadap kerusakan, kehilangan, maupun kerugian dalam jumlah besar yang mungkin terjadi pada bisnis seseorang. Asuransi ini memberikan penggantian dari kerusakan yang diakibatkan oleh kebakaran, ledakan, gempa bumi, petir, banjir, angin ribut, hujan, tabrakan, hingga kerusuhan. Perusahaan asuransi biasanya menawarkan berbagai macam manfaat dari asuransi bisnis seperti perlindungan terhadap karyawan sebagai aset bisnis, perlindungan investasi dan bisnis, asuransi jiwa menyeluruh untuk seluruh karyawan, hingga paket perlindungan asuransi kesehatan bagi karyawan.

7. Asuransi Umum

Asuransi umum atau general insurance merupakan proteksi terhadap resiko atas kerugian maupun kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum pada pihak ketiga. Jaminan asuransi umum ini sifatnya jangka pendek (biasanya sekitar satu tahun).

8. Asuransi Perjalanan

Manfaat dan perlindungan yang akan diperoleh dari asuransi ini antara lain mendapat proteksi dan penanggungan biaya untuk kecelakaan yang menimpa pembeli premi, santunan kecelakaan pribadi, tanggungan biaya pengobatan darurat, pemulangan jenazah, evakuasi medis, hingga proteksi terhadap barang-barang bawaan yang memiliki resiko hilang atau rusak.

Dari keseluruhan jenis-jenis asuransi tersebut di atas, pada umumnya asuransi terbagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu asuransi yang bersifat sebagai expense (biaya) dan asuransi yang bersifat sebagai investasi.

Ciri-ciri asuransi yang berbentuk biaya adalah pihak tertanggung yang mengikuti asuransi tersebut membayarkan premi asuransi hanyalah untuk jaminan apabila terjadi suatu kejadian sesuai dengan yang ditanggung oleh asuransi tersebut. Ketika terjadi kejadian, maka perusahaan asuransi akan membayarkan klaim asuransi kepada Tertanggung maupun Ahli Warisnya. Peserta asuransi jenis ini tidak akan memperoleh pembayaran apapun apabila tidak mengalami kejadian sesuai yang ditanggung oleh asuransi tersebut. Contoh asuransi jenis biaya ini adalah asuransi kesehatan, asuransi perjalanan, asuransi umum, asuransi bisnis, asuransi rumah/properti, asuransi kendaraan bermotor.

Sedangkan ciri-ciri asuransi yang berbentuk investasi, biasanya premi yang dibayarkan oleh peserta asuransi sebagian akan dialokasikan sebagai premi untuk tanggungan asuransi serta sebagaian lagi akan ditempatkan sebagai investasi yang kelak ketika asuransi tersebut telah jatuh tempo, pihak Tertanggung (peserta asuransi) akan memperoleh return (pengembalian) dari investasi yang telah ditanamkan dalam asuransi tersebut yang biasanya disebut sebagai unit link. Contoh asuransi jenis investasi ini antara lain: asuransi pendidikan, asuransi jiwa, asuransi kesehatan berbentuk unit link.

Simpulan

Jika melihat dari jenis dan manfaat yang akan diperoleh dari asuransi, maka untuk asuransi yang berbentuk investasi dapat dikategorikan sebagai Harta dan perlu dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya. Porsi pembayaran premi asuransi yang dialokasikan sebagai investasi harus diakui sebagai harta dan dilaporkan dalam Bagian Harta pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Sedangkan pembayaran premi asuransi untuk jenis biaya tidak perlu diakui sebagai harta, karena dengan sendirinya pembayaran premi asuransi tersebut akan menjadi hangus (hanya sebagai biaya saja) apabila tidak ada kejadian yang dialami oleh pihak Tertanggung.

Namun apabila pihak Tertanggung mengalami kejadian sesuai dengan risiko yang ditanggung oleh asuransi tersebut dan memperoleh klaim asuransi, maka atas pembayaran klaim asuransi tersebut akan diakui sebagai Penghasilan yang bukan merupakan objek Pajak Penghasilan.
(c) http://syafrianto.blogspot.co.id

Selasa, 03 Maret 2015

Perubahan Cara Mengisi Daftar Harta pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2014

Wajib Pajak wajib untuk melaporkan seluruh harta yang dimilikinya dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi pada bagian “Harta pada Akhir Tahun”. Bagi Wajib Pajak yang menggunakan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir:
  1. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (Formulir 1770), maka laporan harta yang dimilikinya tersebut harus dilaporkan pada Bagian A Lampiran 1770 – IV secara terperinci per jenis harta.
  2. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Sederhana (Formulir 1770 S), maka laporan harta yang dimilikinya tersebut harus dilaporkan pada Bagian B Lampiran 1770 S – II secara terperinci per jenis harta.
  3. Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Sangat Sederhana (Formulir 1770 SS), maka laporan harta yang dimilikinya tersebut harus dilaporkan pada Bagian C angka 11 dengan mencantumkan hanya jumlah total dari seluruh harta yang dimilikinya pada akhir tahun pajak (tidak perlu merinci satu persatu hartanya).
Untuk tahun pajak 2014 ini terdapat perubahan pada bentuk dan isi pada bagian “Harta pada Akhir Tahun” pada Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk Formulir 1770 dan Formulir 1770 S sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014.

Berikut ini adalah bagian dari masing-masing formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang memuat informasi pelaporan jumlah harta pada akhir tahun pajak.

Gambar 1 – Bagian Daftar Harta pada Formulir SPT 1770

Gambar 2 – Bagian Daftar Harta pada Formulir SPT 1770 S

Gambar 3 – Bagian Daftar Harta pada Formulir SPT 1770 SS


Selama ini, Wajib Pajak bebas mengisi jenis hartanya, sehingga tidak terdapat keseragaman dalam pengisian dan pengelompokan jenis harta. Pada formulir SPT Tahunan tahun 2014 ini, pengisian Jenis Harta diatur menjadi lebih rinci dan lebih distandarkan. Standarisasi pengelompokan jenis harta pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2014 ini dilakukan dengan adanya kode harta. Dengan demikian, maka Wajib Pajak tidak dapat dengan sesukanya mengelompokkan nama dan jenis harta, namun pengelompokannya tersebut harus berdasarkan urutan kode dan jenis harta.

Pengelompokan harta pada SPT Tahunan tahun 2014 ini yang berdasarkan kode harta menyebabkan penyajian jenis harta pada SPT ini juga menjadi semakin detail dan terperinci. Sebagai contoh, selama ini banyak ditemukan Wajib Pajak yang melaporkan harta berupa uang tunai, tabungan, giro, deposito dan setara kas lainnya menjadi satu jenis harta dengan nama Kas dan Setara Kas. Mulai tahun pajak 2014 ini, Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki harta uang tunai, tabungan, giro, deposito dan setara kas ini harus mencantumkan dalam daftar harta pada SPT Tahunannya secara terpisah menjadi 5 (lima) kelompok harta. Jadi pencantuman kelima jenis harta ini sudah tidak boleh digabung menjadi satu. Selain itu, Wajib Pajak wajib mencantumkan kode harta (sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi) pada kolom Kode Harta (kolom no. 2).

Untuk pencantuman Nama Harta, dalam petunjuk pengisan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi mensyaratkan agar nama harta yang diisi adalah sebagai berikut:
  1. Untuk tanah, dicantumkan lokasi dan luas tanah;
  2. Untuk Bangunan (cantumkan lokasi dan luas bangunan);
  3. Untuk Kendaraan bermotor, mobil, sepeda motor (cantumkan merek dan tahun pembuatannya);
  4. Untuk Kapal pesiar, pesawat terbang, helikopter, jetski, peralatan olah raga khusus, dan sejenisnya (cantumkan merek/jenis dan tahun pembuatannya);
  5. Untuk Uang Tunai Rupiah, Valuta Asing sepadan US Dollar;
  6. Untuk Simpanan termasuk tabungan dan deposito di Bank Dalam dan Luar Negeri (cantumkan nama bank untuk setiap rekening simpanan);
  7. Untuk Piutang (cantumkan identitas pihak yang menerima);
  8. Untuk Efek-efek (saham, obligasi, commercial paper, dan sebagainya) (cantumkan nama penerbit);
  9. Untuk Keanggotaan perkumpulan eksklusif (keanggotaan golf, time sharing dan sejenisnya) (cantumkan nama perkumpulan);
  10. Untuk Penyertaan modal lainnya dalam perusahaan lain yang tidak atas saham (CV, Firma) (cantumkan nama tempat penyertaan modal);
  11. Untuk Harta berharga lainnya, misalnya batu permata, logam mulia, dan lukisan.
Untuk kolom Tahun Perolehan dan kolom Harga Perolehan diisi dengan tahun dan harga diperolehnya masing-masing harta tersebut. Sedangkan untuk kolom Keterangan diisi dengan keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu. Misalnya untuk rumah dan tanah diberi keterangan Nomor Objek Pajak (NOP) sesuai yang tertera dalam SPPT PBB atau untuk kendaraan bermotor diisi Nomor Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB).

Apabila dibandingkan dengan pengisian daftar harta pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2013 dan sebelumnya, maka pengisian daftar harta pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2014 harus lebih rinci dan lebih detail seperti untuk nama harta yang harus dicantumkan secara rinci misalkan nama bank untuk setiap rekening simpanan tabungan/deposito, lokasi dan luas bangunan, merek dan tahun produksi kendaraan bermotor, identitas pihak yang berpiutang.

Daftar Kode Harta

Berikut ini adalah daftar kode harta yang wajib diisikan pada kolom Kode Harta (kolom nomor 2) pada daftar harta di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kas dan Setara Kas:
011 : uang tunai
012 : tabungan
013 : giro
014 : deposito
019 : setara kas lainnya
Piutang:
021 : piutang
022 : piutang afiliasi (piutang kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh)
029 : piutang lainnya
Investasi:
031 : saham yang dibeli untuk dijual kembali
032 : saham
033 : obligasi perusahaan
034 : obligasi pemerintah Indonesia (Obligasi Ritel Indonesia atau ORI, surat berharga syariah negara, dll)
035 : surat utang lainnya
036 : reksadana
037 : Instrumen derivatif (right, warran, kontrak berjangka, opsi, dll)
038 : penyertaan modal dalam perusahaan lain yang tidak atas saham meliputi penyertaan modal pada CV, Firma, dan sejenisnya
039 : Investasi lainnya
Alat Transportasi:
041 : sepeda
042 : sepeda motor
043 : mobil
049 : alat transportasi lainnya
Harta Bergerak Lainnya:
051 : logam mulia (emas batangan, emas perhiasan, platina batangan, platina perhiasan, logam mulia lainnya)
052 : batu mulia (intan, berlian, batu mulia lainnya)
053 : barang-barang seni dan antik (barang-barang seni, barang-barang antik)
054 : kapal pesiar, pesawat terbang, helikopter, jetski, peralatan olahraga khusus
055 : peralatan elektronik, furnitur
059 : harta bergerak lainnya
Harta Tidak Bergerak
061 : tanah dan/atau bangunan untuk tempat tinggal.
062 : tanah dan/atau bangunan untuk usaha (toko, pabrik, gudang, dan sejenisnya)
063 : tanah atau lahan untuk usaha (lahan pertanian, perkebunan, perikanan darat, dan sejenisnya)
069 : harta tidak gerak lainnya.

Contoh Pengisian Daftar Harta

Berikut adalah contoh pengisian Daftar Harta pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Jumat, 19 Desember 2014

Konsultasi Pajak Gratis: Pemberian Dari Tamu Undangan Saat Pernikahan Objek PPh?

Menurut ketentuan perpajakan dalam hal ini UU PPh ditegaskan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan adalah merupakan penghasilan. Penghasilan yang diperoleh diperoleh oleh Wajib Pajak ini berdasarkan Pasal 4 UU PPh terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:
  1. Penghasilan yang merupakan objek PPh yang dikenakan tarif umum sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU PPh yang biasa dikenal dengan istilah sebagai Penghasilan Non Final,
  2. Penghasilan yangmerupakan objek PPh yang bersifat Final yang besarnya tarif PPh diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, dan
  3. Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak (tidak dikenakan PPh).
Salah satu penghasilan yang dikategorikan sebagai penghasilan yang tidak dikenakan PPh adalah penghasilan yang diperoleh yang berupa bantuan atau sumbangan. Namun dalam prakteknya, ada perbedaan penafsiran antara petugas pajak (fiskus) dengan Wajib Pajak mengenai perlakuan perpajakan atas bantuan atau sumbangan yang diterima oleh Wajib Pajak.

Penulis sering mendapatkan pertanyaan mengenai pengertian bentuk sumbangan atau bantuan seperti apa yang merupakan penghasilan yang bukan objek PPh. Salah satu pertanyaan yang sudah sangat sering penulis peroleh adalah mengenai penghasilan yang diterima dari sumbangan atau pemberian yang diperoleh oleh Wajib Pajak ketika mengadakan pesta pernikahan, yaitu pemberian dari para tamu undangan (baik dalam bentuk uang ataupun barang). Berikut pertanyaan yang baru diperoleh penulis mengenai perlakuan perpajakan atas sumbangan pernikahan tersebut yang akan penulis ulas kembali dalam artikel berikut ini.

Pertanyaan dari salah satu pembaca Setia Tax Learning:
Mohon bantuan advicenya mengenai permasalahan pajak pribadi atas sumbangan pernikahan yang sedang diproses oleh kantor pajak.

Pada tahun 2010, saya menikah dan mendapatkan sumbangan (total dari setiap tamu yang datang) sebesar total Rp. 350 juta. Sementara kondisi saya baru lulus kuliah dan saya belum punya npwp.

Pada tahun 2011 saya memiliki npwp dan bekerja di Indonesia. Waktu SPT pajak 2011 saya melaporkan Rp. 350 juta (sebagai hasil sumbangan pernikahan).

Di tahun 2014 ini, kantor pajak mengirimkan surat yang menyatakan bahwa sumbangan Rp. 350 juta yang saya terima di 2010 tersebut merupakan objek pajak, dan dihitung tarif progresif maka saya berhutang pajak Rp. 57 juta berikut bunganya selama 3 tahun yaitu lamanya kantor pajak menemukan dan mempermasalahkan hal ini, yang seharusnya tidak memakan waktu selama itu….

Di pasal 4 ayat 3 menyebutkan pengecualian obyek pajak adalah salah satunya dari Sumbangan. Namun AR kantor pajak tetap ingin memproses pembetulan menjadi objek pajak dan saya mau dikenakan hutang pajak tersebut.

Mohon bantuannya untuk dasar2 argumentasi yang betul.

Jawab:
Penulis pernah membahas mengenai topik ini pada artikel berikut ini.

Menurut penulis, pemberian dari para tamu undangan pada acara pernikahan lebih tepat dikategorikan sebagai sumbangan, karena uang atau barang yang diberikan oleh para tamu undangan ini adalah bersifat pemberian sukarela tanpa adanya “paksaan” dari pihak yang mengundang.

Apabila kita telaah ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) mengenai sumbangan ini ditegaskan bahwa yang tidak dikecualikan dari objek pajak adalah bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia..., sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Jadi menurut ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU PPh ini, pemberian sumbangan yang sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan, maka sumbangan yang diterima tersebut bukanlah objek PPh.

Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh ini ditegaskan lebih lanjut pada Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 bahwa hubungan tersebut dapat terjadi karena ketergantungan atau keterkaitan satu dengan yang lain (pihak pemberi sumbangan dan pihak penerima sumbangan) secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan: usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan. Hubungan ini dapat terjadi apabila:
  1. terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak,
  2. terdapat hubungan di antara pihak yang berkenaan dengan pekerjaan, pemberian jasa atau pelaksanaan kegiatan secara langsung atau tidak langsung, serta
  3. terdapat kepemilikan atau penguasaan (baik penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung atau hubungan penguasaan secara langsung atau tidak langsung) antara pihak pemberi dan penerima sumbangan tersebut.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa pemberian sumbangan pernikahan dalam kasus ini tidak dapat dikaitkan dengan adanya hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak pemberi sumbangan dengan pihak penerima sumbangan. Apalagi ada di antara pemberian sumbangan yang sengaja tidak mencantumkan nama pemberi sehingga akan sulit ditelusuri siapa pemberi dan apa hubungan dalam pemberian tersebut.

Jadi pemberian sumbangan dalam pernikahan ini tidak dapat dikelompokkan sebagai penghasilan yang merupakan objek PPh, kecuali apabila antara pemberi sumbangan dan penerima sumbangan memiliki hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, misalkan atasan/pemberi kerja yang menghadiri pernikahan karyawan yang dipekerjakannya dan mengharapkan bahwa sumbangan yang diberikan oleh atasan ini harus dihitung sebagai bagian dari imbalan sehingga karyawan tersebut harus meningkatkan kontribusinya akibat menerima sumbangan tersebut. Namun tentunya tidak pernah kita temukan motif seseorang yang memberikan sumbangan dalam pernikahan yang mengharapkan adanya balasan yang akan diperoleh dari pihak penerima sumbangan. Karena sumbangan dalam pernikahan yang diberikan ini sebenarnya adalah merupakan tanda ikut bersuka cita dan merayakan kebahagiaan yang sedang dialami oleh pihak penerima sumbangan.

Sehingga penulis berkesimpulan bahwa kurang tepat bagi pihak fiskus yang menetapkan bahwa sumbangan dalam pernikahan ini sebagai objek PPh, kecuali pihak fiskus dapat membuktikan adanya hubungan sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU PPh tersebut.

Pelaporan Dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

Walaupun Penghasilan yang diperoleh dari sumbangan pemberian tamu undangan dalam acara pernikahan ini bukan merupakan objek PPh, namun Wajib Pajak penerimanya perlu melaporkan sumbangan yang diterimanya ini sebagai penghasilan yang bukan objek PPh dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya pada tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut.

Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang melaporkan SPT Tahunannya menggunakan Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir 1770, penghasilan dari sumbangan pernikahan ini diisi pada Lampiran III (Form 1770 - III) Bagian B nomor urut 1: “Bantuan/Sumbangan/Hibah”.

Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang melaporkan SPT Tahunannya menggunakan Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir 1770 S, penghasilan dari sumbangan pernikahan ini diisi pada Lampiran I (Form 1770 S - I) Bagian B nomor urut 1: “Bantuan/Sumbangan/Hibah”.

Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang melaporkan SPT Tahunannya menggunakan Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir 1770 SS, penghasilan dari sumbangan pernikahan ini diisi pada Induk SPT Form 1770 SS Bagian B nomor urut 10: “Penghasilan yang Dikecualikan dari Objek Pajak”.

Jumlah Penghasilan yang diisikan pada kolom Penghasilan Bruto untuk penghasilan dari sumbangan pernikahan ini adalah jumlah bruto dari sumbangan yang diperoleh. Apabila sumbangan tersebut dalam bentuk barang, maka jumlah bruto yang dilaporkan adalah nilai ganti dari barang tersebut (dapat berupa nilai pasarnya).
(c) 2014 http://syafrianto.blogspot.com

Selasa, 09 Juli 2013

Analisis Terhadap Kewajaran Pelaporan Pajak Orang Pribadi

Saat ini pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat diandalkan dan lebih dari 75% sumber penerimaan negara adalah berasal dari pajak. Untuk tahun 2013 ini, Pemerintah menargetkan penerimaan yang akan diperoleh dari pajak dalam APBN-P 2013 adalah sebesar Rp 995 triliun. Namun hingga semester pertama (30 Juni 2013), realisasi penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang bertugas untuk mengumpulkan pajak, baru mencapai Rp 411,39 triliun atau baru sebesar 41,3% dari target APBN-P 2013.

Akibat dari kondisi realisasi penerimaan pajak yang masih jauh dari target, menyebabkan pihak Direktorat Jenderal Pajak semakin gencar melakukan penggalian potensi-potensi yang dapat meningkatkan penerimaan pajak. Beberapa hal yang telah dilakukan oleh aparat pajak untuk ini adalah seperti melakukan penelitian terhadap kebenaran SPT yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak, melakukan himbauan kepada Wajib Pajak yang diduga memiliki potensi pajak namun belum dilaporkan secara benar, melakukan upaya law enforcement berupa pemeriksaaan pajak, penagihan pajak hingga penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan.

Salah satu fokus yang sedang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan penggalian potensi pajak di tahun 2013 ini sebagaimana yang dituangkan dalam rencana dan strategi pemeriksaan tahun 2013 berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-11/PJ/2013 adalah fokus pemeriksaan terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan transaksi pembelian kendaraan mewah dan/atau rumah/apartemen mewah dan Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki kenaikan harta signifikan.

Akibat dari adanya fokus penggalian potensi ini, sehingga menyebabkan akhir-akhir ini banyak ditemukan adanya Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh surat himbauan untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh aparat pajak dalam hal ini Account Representative. Beberapa kasus contoh Wajib Pajak yang dihimbau adalah berdasarkan laporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ditemukan:

  1. adanya penambahan aktiva/harta yang cukup besar dan tidak sebanding dengan pengurangan aktiva atau harta lain yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun sebelum atau jumlah penghasilan yang diterima pada tahun yang bersangkutan;
  2. adanya pertambahan nilai bangunan akibat adanya pembangunan yang cukup signifikan sehingga berpotensi terutang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri;
  3. adanya jumlah harta yang cukup besar yang memerlukan biaya perawatan yang besar juga, namun hal ini tidak diimbangi dengan jumlah penghasilan yang memadai sebagai sumber untuk melakukan perawatan terhadap harta yang dimilikinya tersebut;
  4. ditemukannya atau adanya data mengenai harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang bersangkutan yang selama ini tidak pernah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi miliknya;
  5. dan sebagainya.
Sebenarnya pelaporan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak melalui sarana Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi saat ini sudah mengakomodasi pelaporan mengenai penghasilan, jumlah harta dan jumlah kewajiban. Secara mudah, berdasarkan SPT Tahunan PPh yang telah dilaporkan tersebut, dapat dilakukan analisis secara sederhana mengenai kewajaran dan kebenaran dari hal-hal yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT tersebut.

Secara sederhana, konsep penghasilan yang didefinisikan sebagai setiap pertambahan kemampuan ekonomis yang siap untuk digunakan sebagai konsumsi dapat direfleksikan dalam rumus:

Y = C + S + I

Dimana:
  1. Y: adalah penghasilan yang diperoleh oleh Wajib Pajak (Yield) sebagai sumber untuk melakukan C + S + I.
  2. C: adalah konsumsi yang telah dikeluarkan oleh Wajib Pajak (Consumption)
  3. S: adalah tabungan yang telah dilakukan selama ini oleh Wajib Pajak (Saving)
  4. I: adalah investasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam bentuk harta (Investment)

Dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, pelaporan mengenai penghasilan (Y) ini tercermin dari pelaporan penghasilan yang diterima baik dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas, penghasilan dalam negeri lainnya (yang berasal dari passive income seperti bunga, royalti, sewa), penghasilan luar negeri lainnya, penghasilan yang telah dikenakan pajak yang bersifat final dan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (seperti warisan, hibah, sumbangan). Penghasilan yang telah diterima setiap tahunnya ini adalah merupakan sumber pembiayaan dan akan digunakan sebagai konsumsi (C), ditabung (S) dalam bentuk deposito, tabungan di bank dan setaranya, serta diinvestasikan (I) sebagai harta baik bergerak maupun tidak bergerak seperti rumah, tanah, kendaraan bermotor, perhiasan, saham, efek dan sebagainya.

Apabila sumber penghasilan (Y) ini tidak cukup untuk melakukan pembiayaan terhadap C, S, dan I, maka sumber pembiayaan dapat diambil dari hutang.

Nah, semua komponen yang telah diuraikan di atas, yaitu komponen S (saving), komponen I (Investment) dan hutang ini tercermin dalam laporan SPT Tahunan yaitu pada bagian harta dan bagian kewajiban.

Satu-satunya komponen yang tidak ada dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi adalah konsumsi (C). Walaupun konsumsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak selama tahun pajak yang bersangkutan tidak perlu dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, namun kita tetap dapat membuat analisis tentang kewajaran konsumsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak berdasarkan harta yang mereka miliki dibandingkan dengan penghasilan yang telah mereka laporkan. Karena dari harta yang dimiliki tersebut dapat diperkirakan berapa kira-kira konsumsi yang harus dikeluarkan untuk melakukan perawatan harta tersebut. Biaya yang dapat diperkirakan misalnya biaya pajak kendaraan, PBB, biaya listrik, biaya air, biaya perawatan kendaraan dan sejenisnya.

Salah satu analisis yang dilakukan oleh aparat pajak dalam menilai kewajaran SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang dilaporkan oleh Wajib Pajak ini biasanya dikenal dengan sebutan “analisis biaya hidup”. Dengan menggunakan formula sederhana yang telah diuraikan di atas dan berdasarkan data di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi serta data dari pihak ketiga, maka aparat pajak dapat melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi dalam melaporkan kewajiban pajaknya.

Oleh sebab itu, marilah kita laporkan kewajiban perpajakan kita secara jujur dan benar supaya tidak akan ditemukan kesalahan pada saat dilakukannya analisis tersebut. Sehingga kita dapat meminjam semboyan “jika sudah bersih buat apa risih”.

Bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang memiliki permasalahan seputar pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan pernah dihimbau untuk melakukan pembetulan, silakan untuk sharing di comment berikut ini.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Jumat, 30 Maret 2012

Hari Terakhir Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2011

Besok tanggal 31 Maret 2012 adalah merupakan hari terakhir untuk pelaporan SPT Taahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2011. Namun besok adalah hari Sabtu yang merupakan hari libur bagi instansi Pemerintah termasuk juga bagi seluruh jajaran kantor di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Pada tahun-tahun sebelumnya, apabila hari terakhir batas waktu pelaporan SPT Tahunan bertepatan dengan hari libur, maka biasanya Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan kebijakan dengan tetap membuka pelayanan kepada Wajib Pajak dalam pelaporan SPT pada hari libur tersebut. Lalu bagaimanakah pelayanan penerimaan SPT kali ini, apakah besok Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetap buka?

Kebijakan mengenai pengaturan waktu di luar jam kerja dalam melayani Wajib Pajak yang akan melaporkan SPT Tahunan tahun 2011 diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ/2012 tanggal 6 Maret 2012 mengatur tentang jadwal pelayanan tambahan untuk penerimaan SPT Tahunan PPh tahun 2011 di luar hari kerja.

Dalam SE-10/PJ/2012 ini ditegaskan bahwa di bulan Maret 2012 ini Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP akan tetap membuka kantornya di hari libur adalah pada hari Sabtu tanggal 31 Maret 2012 mulai pukul 08.00 s.d. 20.00 waktu setempat.

Sebagaimana kita ketahui bahwa berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 diatur bahwa batas waktu penyetoran PPh yang masih kurang bayar berdasarkan perhitungan dalam SPT Tahunan (PPh Pasal 29) adalah sebelum SPT Tahunan disampaikan. Artinya bahwa setoran PPh Pasal 29 juga dapat dilakukan pada tanggal 31 Maret 2012. Namun apakah besok bank persepsi atau kantor pos membuka layanan untuk menerima setoran pajak?

Dalam SE-10/PJ/2012 ditegaskan bahwa bank persepsi dan kantor pos tidak membuka layanan untuk menerima setoran pajak pada tanggal 31 Maret 2012. Oleh sebab itu, dalam Surat Edaran tersebut menghimbau kepada para Wajib Pajak yang akan melakukan penyetoran PPh Pasal 29 agar menyetorkannya pada hari ini tanggal 30 Maret 2012.

Minggu, 18 Maret 2012

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Bagi sebagian orang, terutama bagi yang baru pertama kali mengisi SPT, akan merasa kesulitan dalam mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Oleh karena itu, setiap tahun menjelang batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi penulis selalu mendapatkan pertanyaan dari para Pembaca setia Tax Learning mengenai hal-hal seputaran pengisian dan pelaporan SPT Tahunan PPh. Untuk memberikan penjelasan dan panduan kepada para Pembaca setia Tax Learning, penulis telah menuangkan dalam beberapa artikel. Namun karena sudah cukup banyak artikel yang telah diposting dalam blog ini, tentunya menyulitkan bagi Pembaca sekalian untuk mencari artikel terkait. Oleh sebab itu, maka melalui artikel ini penulis mencoba untuk menghimpun artikel yang membahas mengenai pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang sudah dibahas di blog ini.

Sebagaimana diketahui bahwa formulir yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dalam melaporkan pajak pribadinya untuk tahun pajak 2011 yang harus disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2012 terdiri dari 3 (tiga) jenis formulir, yaitu:
  1. Formulir SPT 1770 SS. Formulir ini khusus disediakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang selama 1 (satu) tahun pajak hanya memperoleh penghasilan dari 1 pemberi kerja (menjadi karyawan dan menerima gaji hanya pada 1 perusahaan/majikan) dengan jumlah penghasilan bruto tidak melebihi Rp 60 juta, memperoleh penghasilan dari bunga tabungan/deposito di bank, dan penghasilan dari bunga koperasi. Apabila Wajib Pajak orang pribadi tidak memenuhi ketentuan ini, atau isteri/anggota keluarga mendapatkan penghasilan, maka Wajib Pajak ini tidak dapat melaporkan pajaknya dengan menggunakan formulir 1770 SS ini.
  2. Formulir SPT 1770 S. Formulir ini digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang memperoleh penghasilan aktif sebagai karyawan pada 1 (satu) atau lebih pemberi kerja (perusahaan/majikan) yang tidak memenuhi kriteria untuk menggunakan SPT 1770 SS dan memiliki penghasilan lain yang bukan dari kegiatan usaha bebas dan/atau pekerjaan bebas.
  3. Formulir SPT 1770. Formulir ini digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang mendapatkan penghasilan dari usaha bebas dan/atau pekerjaan bebas.

Bentuk formulir SPT yang digunakan untuk tahun pajak 2011 masih sama dengan bentuk formulir yang digunakan untuk tahun pajak 2010. Untuk selengkapnya, formulir tersebut dapat di download di artikel berikut.

Bagaimanakah cara mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi?

Sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak telah menerbitkan buku panduan pengisian SPT Tahunan secara cuma-cuma. Namun penulis menyadari, bahwa bagi sebagian Wajib Pajak yang tidak memiliki latar belakang ilmu akuntansi atau ilmu perpajakan akan sulit untuk memahami buku petunjuk pengisian SPT tersebut. Sehingga untuk membantu para Pembaca setia Tax Learning untuk dapat mengisi SPT secara mudah, penulis telah menyajikan panduan secara sederhana berupa contoh, dalam artikel yang dapat diakses di:
-Panduan pengisian SPT Tahunan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan.

Kemanakah SPT Tahunan PPh tahun 2011 Harus Dilaporkan?

Setelah mengisi dan menyetorkan PPh kurang bayar berdasarkan perhitungan dalam SPT Tahunannya, maka Wajib Pajak harus melaporkan SPT Tahunannya ini. Wajib Pajak dapat menyampaikan laporan SPT Tahunan ini ke Kantor Pelayanan Pajak tempat dia terdaftar, Kantor Pelayanan Pajak lainnya di seluruh Indonesia, Pojok Pajak, Mobil Pajak, atau Drop Box.

Drop Box adalah suatu tempat yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak khusus untuk menerima pelaporan SPT Tahunan PPh. Drop Box ini biasanya dibuka sekitar bulan Februari, Maret dan April. Lokasi Drop Box tersebar di seluruh Indonesia di daerah pusat keramaian seperti di pusat perbelanjaan, kantor pos, kantor pemerintahan, sekolah dan pusat strategis lainnya. Wajib Pajak dapat melaporkan SPT Tahunan PPh-nya ke lokasi Drop Box manapun di seluruh Indonesia. Untuk tahun 2012 ini, Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan sejumlah tempat sebagai lokasi Drop Box. Untuk mengetahui lokasi Drop Box selengkapnya dapat diakses di situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, di link berikut ini.


Bagaimanakah Ketentuan Pelaporan SPT Bagi Wajib Pajak Yang Berada di Luar Negeri?

Bagi Wajib Pajak yang berada di Luar Negeri melebihi jangka waktu 183 hari dalam periode 12 bulan serta tidak lagi mendapatkan/memperoleh penghasilan di Indonesia dapat tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Namun terlebih dahulu Wajib Pajak ini harus mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak Non Efektif yang ketentuannya diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-89/PJ/2009. Artikel mengenai kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang berada di luar negeri ini akan dibahas dalam artikel berikutnya.

Rabu, 08 Februari 2012

Uji Coba Aplikasi Pelaporan SPT Secara Online

Satu lagi terobosan teknologi yang diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai bentuk untuk memberikan kemudahan bagi para Wajib Pajak dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Inovasi yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak ini adalah mekanisme pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi secara online melalui situs resmi Direktorat Jenderal Pajak. Mekanisme pelaporan pajak secara online ini dinamakan sebagai e-Filing dan dapat diakses melalui alamat: http://efiling.pajak.go.id/

Wajib Pajak yang saat ini dapat menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi secara online adalah Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan PPh-nya dengan menggunakan formulir:
-SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir 1770 S; dan
-SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir 1770 SS

Bagi Wajib Pajak yang akan melaporkan SPT Tahunan PPh dengan cara e-Filing ini, maka harus melakukan ketiga tahap berikut.

Mengajukan Permohonan e-FIN

e-FIN (electronic filling identification number) adalah sebuah nomor kode yang nanti harus diisikan oleh Wajib Pajak pada saat melakukan pendaftaran untuk menggunakan aplikasi menyampaikan SPT Tahunan PPh secara online (e-Filing). Untuk mengajukan e-FIN ini dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:

1. Datang Langsung ke KPP

Untuk permohonan e-FIN melalui KPP, Wajib Pajak dapat memperoleh e-FIN dengan mendatangi secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar dengan mengisi form permohonan e-FIN dan melampirkan Kartu Identitas Diri. Proses ini dapat dilakukan dalam satu hari kerja sejak permohonan dibuat.

2. Secara Online Melalui Situs pajak.go.id

Untuk pengisian secara online, Wajib Pajak dapat mengakses situs pendaftaran e-FIN secara online dengan langkah-langkah:

a. Klik menu Registrasi eFin
b. Input NPWP dan Tanggal Pendaftaran
c. Klik Submit

e-FIN akan dikirimkan ke alamat Wajib Pajak yang tertera pada Master File yang terdaftar di KPP dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak registrasi e-FIN. Apabila alamat pendaftar tidak sama dengan alamat yang diinput pada saat konfirmasi, masukkan alamat yang valid yang dapat dikirim pos, kemana eFIN akan dikirimkan.

Mendaftarkan Untuk Menggunakan Aplikasi e-Filing Dalam Melaporkan SPT

Setelah Wajib Pajak menerima e-FIN, maka langkah selanjutnya adalah mendaftarkan diri untuk menggunakan aplikasi e-Filing. Langkah-langkah pendaftaran untuk menggunakan e-Filing adalah:
a. Buka menu e-Filing di website DJP
b. Masukkan NPWP dan e-FIN
c. Isi data email, nomor handphone dan password
d. Submit data pendaftaran

Menyampaikan SPT Tahunan Secara e-Filing

Setelah terdaftar sebagai pengguna aplikasi e-Filing, maka Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Tahunan secara online. Untuk menyampaikan SPT Tahunan secara online ini, Wajib Pajak hanya perlu mengisi data-data perpajakan sesuai dengan formulir SPT Tahunan PPh melalui situs pajak. Wajib Pajak hanya perlu menyampaikan data-data ini tanpa perlu menyampaikan dokumen hardcopy-nya kecuali setelah kemudian hari diminta oleh KPP melalui Account Representative (AR).
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Selasa, 31 Mei 2011

Pemotongan Pajak atas Penghasilan yang Diterima Blogger

"Saat ini blogger tengah dilirik oleh berbagai pihak sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat"

Pendahuluan

Kira-kira demikianlah yang terlihat ketika penulis berkesempatan diundang hadir dalam acara launching produk Operator Seluler "Indosat Mobile" di Hotel Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta tanggal 25 Mei 2011. Dalam acara launching produk ini, peserta yang mendapatkan undangan khusus adalah para jurnalis/wartawan dari media cetak dan media elektronik, anggota komunitas, serta para blogger. Di sini penulis melihat bahwa peran para blogger sebagai media penyampai informasi telah dilirik oleh pihak advertiser (pemasang iklan).

Mengutip sebuah riset yang telah disampaikan oleh seorang pengamat media massa, Hendro D. Laksono (kompas.com 30-12-2010) menyebutkan bahwa selama tahun 2010, belanja iklan di media online meningkat sebesar 400% dan telah mencapai 4% dari total belanja iklan nasional. Padahal di tahun 2009, total belanja iklan di media online hanya mencapai 1,4%. Memang porsi belanja iklan ini belum seberapa jika dibandingkan dengan porsi belanja iklan terbesar yang masih dipegang oleh media elektronik televisi dan radio, kemudian disusul oleh media cetak. Bahkan menurut perkiraan, bahwa kenaikan porsi belanja iklan media online akan naik cukup signifikan dalam waktu 3-5 tahun (diungkapkan oleh Charles Buchwalter, Chief Executive Officer Nielsen Online Japan pada Forum Media Asia Pasifik (APMF) ke-4 di Nusa Dua, Bali 3 Juni 2010.

Apalagi setelah penulis bertemu dengan rekan-rekan blogger yang diundang dari salah satu media penghubung antara advertiser (pemasang iklan) dengan para pemilik blog, idblognetwork.com, maka penulis merasa yakin bahwa prediksi peningkatan pemasang iklan pada media online, terutama blog akan meningkat cukup pesat di tahun-tahun mendatang. Bahkan sekarang ini tidak jarang ada blogger yang dapat hidup hanya dari usahanya mengelola blog mereka. Berdasarkan potensi yang cukup besar yang dapat diperoleh oleh para pemilik blog, maka tidak dapat kita hindari lagi bahwa tentulah ada aspek pajak yang akan timbul, minimal dari penghasilan yang diterima oleh para blogger tersebut. Ketika bertemu dengan Mubarika Darmayanti, salah seorang founder idblognetwork.com penulis sempat berdiskusi mengenai aspek pajak atas blogger, malah Mubarika sangat mengharapkan agar penulis dapat membuat artikel mengenai pajak atas penghasilan blogger. Oleh sebab itu, dalam artikel ini penulis akan mengangkat topik mengenai aspek perpajakan bagi para blogger. Pada artikel ini, penulis hanya akan membahas pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh blogger atas penghasilan yang diperoleh dari pihak penyedia jasa periklanan atas pemasangan iklan di suatu situs/blog yang dalam dunia online lebih dikenal sebagai “adsense”. Blogger yang dibahas di sini adalah blogger orang pribadi dan tidak berbentuk badan usaha (berbadan hukum).

Mekanisme Transaksi
Salah satu jenis penghasilan yang banyak diperoleh oleh para blogger adalah penayangan suatu materi iklan pada blog/situs milik blogger yang dikenal dengan istilah “adsense”. Mekanisme transaksi untuk jenis “adsense” ini adalah pihak advertiser sebagai pemilik iklan yang ingin memasangkan iklan pada situs/blog tertentu membayar pihak penyedia jasa periklanan online untuk memasangkan iklannya pada situs/blog yang telah bekerja sama dengan pihak penyedia jasa periklanan online.
Kemudian pihak penyedia jasa periklanan akan memasangkan materi iklan yang telah dipesan oleh advertiser ke sejumlah situs/blog yang telah bekerja sama dengan (terdaftar pada) pihak penyedia jasa periklanan.
Dari hasil penayangan iklan di situs/blog, melalui mekanisme perhitungan penghasilan yang telah ditetapkan dan disepakati oleh pihak advertiser dengan pihak penyedia jasa periklanan, para blogger sebagai pemilik situs/blog (biasa disebut sebagai “publisher”) akan memperoleh bayarannya.

Mekanisme Penghitungan Penghasilan
Biaya pemasangan iklan yang dibebankan kepada advertiser adalah didasarkan pada jumlah banyaknya iklan yang mereka pasang tersebut di suatu situs/blog diakses (klik) oleh pengunjung lain selain pemilik situs/blog. Umumnya advertiser harus membayar sejumlah uang untuk pasang iklan berdasarkan paket berapa kali diakses oleh pengunjung. Apabila jumlah diakses oleh pengunjung ini telah mencapai batas, maka iklan dari advertiser tersebut tidak akan ditayangkan di situs/blog target pasang iklan.
Sedangkan penghasilan dari pemilik situs/blog atas iklan yang ditayangkan di situs/blognya tersebut adalah berdasarkan banyaknya pengunjung berbeda yang telah mengakses iklan tersebut.

Aspek Perpajakan Bagi Penyedia Jasa Periklanan Online

1. Kewajiban Memotong Pajak

Kewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas pembayaran penghasilan yang dibayarkan kepada pemilik situs/blog. Umumnya pemilik situs/blog adalah orang pribadi. Maka atas penghasilan yang dibayarkan kepada para pemilik situs/blog sebagai orang pribadi akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan PER-57/PJ/2009 menegaskan bahwa Pemberi Kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai, wajib memotong PPh Pasal 21.
Jika kita simak bunyi dari Pasal ini, maka dapat kita simpulkan bahwa atas pemberi kerja (dalam hal ini pihak penyedia jasa periklanan) yang membayarkan pembayaran sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi bukan pegawai (dalam hal ini adalah para blogger yang memperoleh penghasilan atas iklan yang diakses melalui blog/situs mereka), diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada para blogger tersebut.

2. Tarif PPh
Besarnya tarif PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pihak penyedia jasa periklanan atas pembayaran penghasilan kepada para blogger orang pribadi dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh atas jumlah kumulatif 1 (satu) tahun kalender dari penghasilan kena pajak bagi bukan pegawai yang diterima secara berkesinambungan.
Penghasilan kena pajak yang diterima bukan pegawai yang diterima secara berkesinambungan adalah sebesar 50% dari dari jumlah penghasilan bruto. Sedangkan besarnya tarif Pasal 17 UU PPh adalah:
  1. Penghasilan sampai dengan Rp 50 juta, tarif PPhnya 5%
  2. Penghasilan di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 250 juta, tarif PPhnya 15%
  3. Penghasilan di atas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta, tarif PPhnya 25%
  4. Penghasilan di atas Rp 500 juta, tarif PPhnya 30%

3. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Yang Harus Dipotong atas Penghasilan Blogger
Shandy Sundoro adalah seorang blogger yang terdaftar sebagai member di idblognetwork.com dan merupakan Publisher. Selama tahun 2011, blog milik Shandy Sundoro mendapatkan iklan untuk diterbitkan dari para advertiser melalui idblognetwork.com. Atas iklan-iklannya tersebut, Shandy mendapatkan penghasilan sebagai berikut:
  1. Januari 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 40 juta
  2. Februari 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 70 juta
  3. Maret 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 180 juta
Maka Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork.com ketika membayarkan penghasilan kepada Shandy setiap bulannya adalah:

a. Januari 2011
Penghasilan Rp 40 juta
Penghasilan Kena Pajak (PKP)= 50% x Rp 40 juta = Rp 20 juta
PPh Pasal 21 = 5% x Rp 20 juta (tarif 5% karena akumulasi PKP mulai awal 2011 masih di bawah Rp 50 juta).
Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork untuk pembayaran penghasilan bulan Januari 2011 adalah sebesar Rp 1 juta.

b. Februari 2011
Penghasilan Rp 70 juta
Penghasilan Kena Pajak (PKP)= 50% x Rp 70 juta = Rp 35 juta
Akumulasi Penghasilan Kena Pajak: Januari: Rp 20 juta; Februari: Rp 35 juta. Sehingga total akumulasi selama 2 bulan adalah Rp 55 juta (sudah melampaui lapisan pertama dari tarif PPh Pasal 17).
Sehingga perhitungan PPh Pasal 21 =
-5% x Rp 30 juta = Rp 1.500.000
-15% x Rp 5 juta = Rp 750.000
Total PPh Pasal 21 = Rp 1.500.000 + Rp 750.000 = Rp 2.250.000

Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork untuk pembayaran penghasilan bulan Februari 2011 adalah sebesar Rp 2.250.000.

c. Maret 2011
Selanjutnya silakan kepada para Pembaca Setia Tax Learning, cobalah hitung besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork.com atas pembayaran penghasilan kepada Shandy untuk bulan Maret 2011. Jawaban boleh diposting di bawah ini.

Sebagai catatan, perhitungan PPh Pasal 21 di atas diasumsikan bahwa Shandy Sundoro sebagai penerima penghasilan memiliki NPWP. Apabila penerima penghasilan orang pribadi tidak memiliki NPWP, maka tarif PPh Pasal 21 akan dikenakan 20% lebih tinggi dari tarif normal tersebut di atas. Misalkan jika Shandy Sundoro tidak memiliki NPWP, maka perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong atas penghasilan bulan Januari 2011 adalah: 120% x 5% x Rp 20 juta. Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk penghasilan Januari 2011 adalah sebesar Rp 1.200.000.

Potongan PPh Pasal 21 ini adalah merupakan kredit pajak sebagai pengurang PPh terutang untuk seluruh penghasilan yang diterima oleh blogger tersebut selama setahun, yang biasanya dihitung ulang dan dilaporkan paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut.

Bagaimanakah bila penerima penghasilan merupakan badan? Bagaimanakah perlakuan hasil pemotongan PPh Pasal 21 yang diperoleh para blogger yang merupakan kredit pajak? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, apabila penulis memiliki waktu luang, penulis akan mencoba untuk menjelaskannya dalam artikel lain.
(c)http://syafrianto.blogspot.com 31052011

Jumat, 27 Mei 2011

Kewajiban Pajak bagi Blogger

"Saat ini blogger tengah dilirik oleh berbagai pihak sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat"

Pendahuluan

Kira-kira demikianlah yang terlihat ketika penulis berkesempatan diundang hadir dalam acara launching produk Operator Seluler "Indosat Mobile" di Hotel Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta tanggal 25 Mei 2011. Dalam acara launching produk ini, peserta yang mendapatkan undangan khusus adalah para jurnalis/wartawan dari media cetak dan media elektronik, anggota komunitas, serta para blogger. Di sini penulis melihat bahwa peran para blogger sebagai media penyampai informasi telah dilirik oleh pihak advertiser (pemasang iklan).

Mengutip sebuah riset yang telah disampaikan oleh seorang pengamat media massa, Hendro D. Laksono (kompas.com 30-12-2010) menyebutkan bahwa selama tahun 2010, belanja iklan di media online meningkat sebesar 400% dan telah mencapai 4% dari total belanja iklan nasional. Padahal di tahun 2009, total belanja iklan di media online hanya mencapai 1,4%. Memang porsi belanja iklan ini belum seberapa jika dibandingkan dengan porsi belanja iklan terbesar yang masih dipegang oleh media elektronik televisi dan radio, kemudian disusul oleh media cetak. Bahkan menurut perkiraan, bahwa kenaikan porsi belanja iklan media online akan naik cukup signifikan dalam waktu 3-5 tahun (diungkapkan oleh Charles Buchwalter, Chief Executive Officer Nielsen Online Japan pada Forum Media Asia Pasifik (APMF) ke-4 di Nusa Dua, Bali 3 Juni 2010.

Apalagi setelah penulis bertemu dengan rekan-rekan blogger yang diundang dari salah satu media penghubung antara advertiser (pemasang iklan) dengan para pemilik blog, idblognetwork.com, maka penulis merasa yakin bahwa prediksi peningkatan pemasang iklan pada media online, terutama blog akan meningkat cukup pesat di tahun-tahun mendatang. Bahkan sekarang ini tidak jarang ada blogger yang dapat hidup hanya dari usahanya mengelola blog mereka. Berdasarkan potensi yang cukup besar yang dapat diperoleh oleh para pemilik blog, maka tidak dapat kita hindari lagi bahwa tentulah ada aspek pajak yang akan timbul, minimal dari penghasilan yang diterima oleh para blogger tersebut. Ketika bertemu dengan Mubarika Darmayanti, salah seorang founder idblognetwork.com penulis sempat berdiskusi mengenai aspek pajak atas blogger, malah Mubarika sangat mengharapkan agar penulis dapat membuat artikel mengenai pajak atas penghasilan blogger. Oleh sebab itu, dalam artikel ini penulis akan mengangkat topik mengenai aspek perpajakan bagi para blogger. Pada artikel ini, penulis hanya akan membahas pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh blogger atas penghasilan yang diperoleh dari pihak penyedia jasa periklanan atas pemasangan iklan di suatu situs/blog yang dalam dunia online lebih dikenal sebagai “adsense”.

Mekanisme Transaksi
Salah satu jenis penghasilan yang banyak diperoleh oleh para blogger adalah penayangan suatu materi iklan pada blog/situs milik blogger yang dikenal dengan istilah “adsense”. Mekanisme transaksi untuk jenis “adsense” ini adalah pihak advertiser sebagai pemilik iklan yang ingin memasangkan iklan pada situs/blog tertentu membayar pihak penyedia jasa periklanan online untuk memasangkan iklannya pada situs/blog yang telah bekerja sama dengan pihak penyedia jasa periklanan online.
Kemudian pihak penyedia jasa periklanan akan memasangkan materi iklan yang telah dipesan oleh advertiser ke sejumlah situs/blog yang telah bekerja sama dengan (terdaftar pada) pihak penyedia jasa periklanan.
Dari hasil penayangan iklan di situs/blog, melalui mekanisme perhitungan penghasilan yang telah ditetapkan dan disepakati oleh pihak advertiser dengan pihak penyedia jasa periklanan, para blogger sebagai pemilik situs/blog (biasa disebut sebagai “publisher”) akan memperoleh bayarannya.

Mekanisme Penghitungan Penghasilan
Biaya pemasangan iklan yang dibebankan kepada advertiser adalah didasarkan pada jumlah banyaknya iklan yang mereka pasang tersebut di suatu situs/blog diakses (klik) oleh pengunjung lain selain pemilik situs/blog. Umumnya advertiser harus membayar sejumlah uang untuk pasang iklan berdasarkan paket berapa kali diakses oleh pengunjung. Apabila jumlah diakses oleh pengunjung ini telah mencapai batas, maka iklan dari advertiser tersebut tidak akan ditayangkan di situs/blog target pasang iklan.
Sedangkan penghasilan dari pemilik situs/blog atas iklan yang ditayangkan di situs/blognya tersebut adalah berdasarkan banyaknya pengunjung berbeda yang telah mengakses iklan tersebut.

Aspek Perpajakan Bagi Penyedia Jasa Periklanan Online

1. Kewajiban Memotong Pajak

Kewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas pembayaran penghasilan yang dibayarkan kepada pemilik situs/blog. Umumnya pemilik situs/blog adalah orang pribadi. Maka atas penghasilan yang dibayarkan kepada para pemilik situs/blog sebagai orang pribadi akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan PER-57/PJ/2009 menegaskan bahwa Pemberi Kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai, wajib memotong PPh Pasal 21.
Jika kita simak bunyi dari Pasal ini, maka dapat kita simpulkan bahwa atas pemberi kerja (dalam hal ini pihak penyedia jasa periklanan) yang membayarkan pembayaran sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi bukan pegawai (dalam hal ini adalah para blogger yang memperoleh penghasilan atas iklan yang diakses melalui blog/situs mereka), diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada para blogger tersebut.

2. Tarif PPh
Besarnya tarif PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pihak penyedia jasa periklanan atas pembayaran penghasilan kepada para blogger orang pribadi dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh atas jumlah kumulatif 1 (satu) tahun kalender dari penghasilan kena pajak bagi bukan pegawai yang diterima secara berkesinambungan.
Penghasilan kena pajak yang diterima bukan pegawai yang diterima secara berkesinambungan adalah sebesar 50% dari dari jumlah penghasilan bruto. Sedangkan besarnya tarif Pasal 17 UU PPh adalah:
  1. Penghasilan sampai dengan Rp 50 juta, tarif PPhnya 5%
  2. Penghasilan di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 250 juta, tarif PPhnya 15%
  3. Penghasilan di atas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta, tarif PPhnya 25%
  4. Penghasilan di atas Rp 500 juta, tarif PPhnya 30%

3. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Yang Harus Dipotong atas Penghasilan Blogger
Shandy Sundoro adalah seorang blogger yang terdaftar sebagai member di idblognetwork.com dan merupakan Publisher. Selama tahun 2011, blog milik Shandy Sundoro mendapatkan iklan untuk diterbitkan dari para advertiser melalui idblognetwork.com. Atas iklan-iklannya tersebut, Shandy mendapatkan penghasilan sebagai berikut:
  1. Januari 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 40 juta
  2. Februari 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 70 juta
  3. Maret 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 180 juta
Maka Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork.com ketika membayarkan penghasilan kepada Shandy setiap bulannya adalah:

a. Januari 2011
Penghasilan Rp 40 juta
Penghasilan Kena Pajak (PKP)= 50% x Rp 40 juta = Rp 20 juta
PPh Pasal 21 = 5% x Rp 20 juta (tarif 5% karena akumulasi PKP mulai awal 2011 masih di bawah Rp 50 juta).
Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork untuk pembayaran penghasilan bulan Januari 2011 adalah sebesar Rp 1 juta.

b. Februari 2011
Penghasilan Rp 70 juta
Penghasilan Kena Pajak (PKP)= 50% x Rp 70 juta = Rp 35 juta
Akumulasi Penghasilan Kena Pajak: Januari: Rp 20 juta; Februari: Rp 35 juta. Sehingga total akumulasi selama 2 bulan adalah Rp 55 juta (sudah melampaui lapisan pertama dari tarif PPh Pasal 17).
Sehingga perhitungan PPh Pasal 21 =
-5% x Rp 30 juta = Rp 1.500.000
-15% x Rp 5 juta = Rp 750.000
Total PPh Pasal 21 = Rp 1.500.000 + Rp 750.000 = Rp 2.250.000

Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork untuk pembayaran penghasilan bulan Februari 2011 adalah sebesar Rp 2.250.000.

c. Maret 2011
Selanjutnya silakan kepada para Pembaca Setia Tax Learning, cobalah hitung besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork.com atas pembayaran penghasilan kepada Shandy untuk bulan Maret 2011. Jawaban boleh diposting di bawah ini.

Potongan PPh Pasal 21 ini adalah merupakan kredit pajak sebagai pengurang PPh terutang untuk seluruh penghasilan yang diterima oleh blogger tersebut selama setahun, yang biasanya dihitung ulang dan dilaporkan paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut.

Apabila penulis memiliki waktu luang, penulis akan mencoba untuk menjelaskan mengenai kewajiban pajak yang harus dilakukan oleh blogger setelah mendapatkan penghasilan dan potongan PPh Pasal 21 dari Penyedia Jasa Periklanan ini.
(c)http://syafrianto.blogspot.com 31052011

Jumat, 18 Maret 2011

Batas Waktu Penyetoran PPh Pasal 29 untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

Pada tanggal 8 Maret 2011 pagi, pemandangan di sepanjang jalan di Kota Jakarta dihiasi dengan spanduk besar. Spanduk besar yang terpampang di hampir seluruh jalan-jalan protokol di Jakarta ini berisi himbauan untuk memenuhi kewajiban melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Namun apabila dicermati lebih lanjut isi dari spanduk ini, ada sesuatu yang terasa janggal dari isi spanduk tersebut yang sangat mengganggu. Penulis berfikir tentunya efek dari spanduk ini akan membuat masyarakat menjadi bingung. Menurut penulis, spanduk yang terpasang ini mengandung informasi yang salah, dimana dalam spanduk ini diingatkan kepada seluruh masyarakat bahwa batas waktu penyetoran PPh Pasal 29 (yaitu setoran kekurangan bayar PPh hasil penghitungan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi) untuk tahun pajak 2010 adalah tanggal 25 Maret 2011. Penasaran dengan spanduk ini, penulis meneliti lebih lanjut isi dari spanduk ini. Pada spanduk ini tercantum instansi Direktorat Jenderal Pajak dan Pemda DKI Jakarta. Dari sini penulis menjadi yakin bahwa sebenarnya spanduk himbauan pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini dikeluarkan oleh instansi Pemda DKI Jakarta, karena apabila pihak Direktorat Jenderal Pajak yang mengeluarkan spanduk ini, tidak pernah melibatkan instansi/pihak lainnya.

Selang beberapa lama kemudian, ternyata penulis sudah menerima beberapa pertanyaan melalui twitter dan email dari beberapa pembaca setia Tax Learning atau Follower twitter @beritapajak, yang menanyakan mengenai apakah memang untuk tahun ini penyetoran PPh Pasal 29 kembali dimajukan menjadi tanggal 25 Maret. Akibat adanya kebingungan karena spanduk ini, maka berikut ini penulis akan memberikan pencerahan kepada para Pembaca Setia Tax Learning.

Batas Waktu Penyetoran dan Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

Orang Pribadi yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan memiliki NPWP, setiap tahunnya harus memenuhi kewajiban SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) antara lain mengatur ketentuan pemenuhan kewajiban SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2007 yang berlaku mulai tahun pajak 2008, mengatur tentang batas waktu penyetoran pajak kurang bayar dan pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Pada Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2007 mengatur batas waktu pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) adalah sebelum SPT Tahunan PPh tersebut disampaikan. Lebih lanjut pada Pasal 3 ayat (3) huruf b UU Nomor 28 Tahun 2007 dapat kita temukan ketentuan mengenai batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi menurut ketentuan ini adalah 3 (tiga) Bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Jadi berdasarkan ketentuan pada kedua ayat ini, dapat kita simpulkan bahwa:
  1. Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi harus dilakukan pada akhir bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. Maka untuk tahun pajak 2010 ini, batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi adalah tanggal 31 Maret 2011.
  2. Penyetoran kekurangan bayar pajak yang terutang berdasarkan perhitungan pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi harus dilunasi sebelum SPT Tahunan PPh Orang Pribadi disampaikan (dilaporkan ke Kantor Pajak).
  3. Dengan demikian, maka batas waktu penyetoran PPh PPh Pasal 29 (yaitu setoran kekurangan bayar PPh hasil penghitungan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi) untuk tahun pajak 2010 adalah tanggal 31 Maret 2011, sebelum SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tersebut disampaikan. Apabila SPT Tahunan PPh Orang Pribadi disampaikan ke Kantor Pajak sebelum tanggal 31 Maret 2011, berarti PPh Pasal 29 sudah harus dilunasi paling lambat sebelum SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tersebut disampaikan ke Kantor Pajak.

Mengapa Spanduk Masih Menginformasikan Batas Setor PPh Pasal 29 Tanggal 25 Maret 2011?

Memang sebelum tahun pajak 2008, ketika masih menggunakan ketentuan UU Nomor 16 Tahun 2000 (UU ini diubah dengan UU Nomor 28 Tahun 2007), batas waktu penyetoran PPh Pasal 29, yang diatur pada Pasal 9 ayat (2), adalah tanggal 25 bulan ketiga setelah Tahun Pajak berakhir. Jadi menurut penulis, himbauan yang tertulis pada spanduk tersebut masih menggunakan ketentuan Undang-Undang lama dan pihak yang membuat spanduk ini masih belum meng-update pengetahuan tentang ketentuan pajak terbaru. Penulis juga menduga bahwa spanduk himbauan pemenuhan kewajiban pajak ini bukan dibuat oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak, melainkan oleh pihak Pemda DKI Jakarta.
Namun sangat disayangkan hingga saat tulisan ini dibuat, penulis masih melihat bahwa spanduk ini masih terpasang disetiap sudut Ibukota, dan belum ada klarifikasi dari pihak-pihak yang berkompeten. Penulis hanya melihat bahwa pihak Direktorat Jenderal Pajak sendiri telah membuat spanduk himbauan pemenuhan kewajiban pajak yang benar yang terpasang di depan unit-unit kantor di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Mungkin sampai dengan saat ini, pihak yang mengeluarkan spanduk ini masih belum menyadari kekeliruannya. Namun akibatnya telah terjadi penyampaian informasi yang keliru kepada publik. Namun melalui media Tax Learning ini, penulis akan meluruskan bahwa informasi yang tertera dalam spanduk tersebut adalah keliru. Batas waktu penyetoran PPh Pasal 29 atas kekurangan bayar pajak dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi harus dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret 2011 sebelum SPT Tahunan PPh Orang Pribadi disampaikan ke Kantor Pajak.

Senin, 07 Maret 2011

Pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi bagi Wanita Kawin

Apakah Wanita kawin harus mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi? Bagaimanakah cara menghitung dan melaporkan pajak bagi wanita yang telah menikah? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang paling sering dilontarkan oleh para Pembaca Setia Tax Learning kepada penulis, baik melalui posting di blog ini maupun melalui email.

Sehubungan dengan akan berakhirnya masa penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 2010 yang jatuh tempo pada tanggal 31 Maret 2011, DJP mengeluarkan tulisan mengenai cara pemenuhan kewajiban perpajakan bagi wanita yang telah menikah. Berikut artikel yang penulis kutip dari situs pajak.go.id.

* Apakah wanita kawin tersebut memiliki NPWP yang terpisah dengan suaminya (NPWP dengan kode cabang (tiga digit terakhir) "000")? Jika jawabannya:
YA.
Apapun pekerjaan dari wanita kawin tersebut (baik hanya sebagai pegawai dari satu pemberi kerja yang menerima 1721-A1 atau 1721-A2 ataupun memiliki penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas) jika wanita kawin tsb memiliki NPWP dengan kode cabang (tiga digit terakhir) "000",
maka harus diperlakukan sebagai isteri yang menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, yang pengisian SPT Tahunannya sama dengan wanita kawin dengan perjanjian pisah harta (SE-29/PJ/2010). Maka pengisian SPT Tahunannya adalah sbb:
  1. Pelaporan bagi wanita kawin ini dilakukan terpisah dengan SPT Tahunan PPh suami. (SE-29/PJ/2010)
  2. Dan untuk penghitungan PPh bagi wanita kawin ini, harus dihitung layaknya wanita kawin yang memilih untuk melakukan hak/kewajiban perpajakannya sendiri. Sehingga penghasilan neto wanita kawin tersebut harus digabung dengan penghasilan neto suami, dan besarnya PPh terutang bagi wanita kawin (isteri) dihitung dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.
  3. Kolom PTKP baik dalam SPT Tahunan suami maupun isteri diisi dengan tanda strip (-) dan membuat lembar penghitungan penghasilan serta PPh terutang tersendiri. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 32 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 19).
  4. Kolom Penghasilan Kena Pajak baik dalam SPT Tahunan suami maupun isteri diisi dengan tanda strip (-) dan membuat lembar penghitungan penghasilan serta PPh terutang tersendiri. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 32 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 20)
  5. Contoh cara penghitungan dan bentuk lembar penghitungan penghasilan serta PPh Terutang bagi isteri yang mempunyai NPWP sendiri (terpisah dari suami) dapat dilihat pada halaman 33-36 di Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahunan 1770 atau halaman 26-28 di Buku Petunjuk Pengisian 1770S (PER 34/PJ/2010)

TIDAK. (wanita kawin tsb memiliki NPWP cabang/NPWP anggota keluarga dengan kode cabang (tiga digit terakhir) "001")
Maka kita harus melihat lebih lanjut apa pekerjaan dari wanita kawin tersebut. Tanyakan pertanyaan untuk mengetahui pekerjaannya.
  • Apakah wanita kawin tersebut bekerja sebagai pegawai dari satu pemberi kerja dan memperoleh 1721-A1/ 1721-A2? Jika jawabannya:
YA.
Maka pengisian SPT Tahunan nya adalah sebagai berikut:
  1. Pelaporan disatukan dengan SPT Tahunan PPh suaminya, dimana penghasilan wanita kawin tsb dilaporkan didalam bagian "Penghasilan Isteri dari satu pemberi kerja" (1770-III Bagian A No.15 atau 1770S-II Bagian A No.13). Jadi penghasilan wanita tersebut sudah bersifat final dan tidak perlu ditambahkan dengan penghasilan neto suami. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 19 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 13)
  2. PTKP di induk SPT Tahunan suami diisi dengan "K/jumlah tanggungan", tidak boleh ditulis "K/I/". Karena penghitungan penghasilan isteri sudah bersifat final sehinggan PTKP untuk isteri juga tidak perlu ditambahkan lagi dengan PTKP suami. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 19 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 13)

TIDAK
.
wanita kawin tsb memiliki penghasilan dari :
  1. usaha/pekerjaan bebas yg tidak ada hubungannya dgn usaha/pekerjaan bebas suami, anak/anak angkat yg belum dewasa).
  2. bekerja sebagai karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai Pemotong Pajak walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas.
  3. bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 (satu) pemberi kerja. Maka pengisian SPT Tahunannya adalah sbb: + Pelaporan disatukan dengan SPT Tahunan PPh suaminya. + Penghasilan neto isteri ditambahkan dengan penghasilan neto suaminya, begitu juga untuk PPh terutangnya menjadi suatu kesatuan. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 31 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 19) + PTKP di induk SPT Tahunan suaminya adalah "K/I/jumlah tanggungan" karena penghasilan isteri digabung didalam induk SPT suami maka PTKP nya juga digabung. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 31 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 19)

Sumber : DJP Tax Knowledge Base

Selasa, 04 Januari 2011

Tarif Pemotongan dan Pengenaan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Negeri

Setelah sekian lama ketentuan mengenai pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh Pegawai Negeri yang bersumber dari APBN dan APBD belum mengalami perubahan, padahal ketentuan perhitungan PPh Pasal 21 bagi orang pribadi yang bukan pegawai negeri telah mengalami perubahan mengikuti ketentuan UU PPh yang baru, maka mulai 1 Januari 2011 nanti, akan menggunakan ketentuan yang baru. Perubahan ini ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tanggal 20 Desember 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daeerah.

Aturan Pelaksanaan serta contoh cara penghitungan PPh Pasal 21 dari PP 80 Tahun 2010 ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tanggal 31 Desember 2010.

Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD yang diatur dalam PP Nomor 80 Tahun 2010 ini meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:

1.Pejabat Negara, untuk:
a. gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
b. imbalan tetap sejenisnya
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. PNS, Anggota TNl, dan Anggota POLRl, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
3. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

Besarnya PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah

Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung Pemerintah dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

PPh Pasal 21 dalam hal tidak mempunyai NPWP

Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang dibebankan pada APBN atau APBD dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 20% (dua puluh persen) dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS. Anggota TN!, Anggota POLRI, dan Pensiunannya.


PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan selain penghasilan tetap dan teratur setiap bulan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium atau imbalan lain tersebut, dengan tarif:

1. sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
2. sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
3. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi Pejabat Negara. PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya

Jumat, 26 November 2010

Perhitungan PPh untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dosen Tidak Tetap

Membaca tanggapan di salah satu artikel mengenai konsultasi perpajakan di situs detik.com, penulis menjadi tertarik untuk membahasnya. Apalagi tanggapan dan pertanyaan dari salah seorang pembaca tersebut tidak direspon oleh pihak pengelola konsultasi perpajakan di situs detik.com tersebut. Berikut kutipan dari pertanyaan tersebut:

Bapak yth., Saya juga freelancer alias dosen part time, pajak sudah dipotong...dan buktinya pun saya lampirkan pada waktu lapor PPh, tapi saya minta saran bagian Konsultasi di KP Bekasi Utara. Saya disarankan untuk memakai Norma 90200 Tahun pertama OK ada lebih bayar dan dikembalikan... Bagus. Tahun kedua saya ulangi, minta saran lagi, tahun ini katanya nggak 25 % tapi 30% Normanya, OK saya ikuti. Tapi bagian Pemeriksaan kali ini menolak saran dari bag.konsultasi, alasannya macem2 tapi menurut dia setiap orang boleh menafsirkan UU Pajak secara berbeda. Minta saran Kanwil... nggak tau apa hasilnya. Jadi kalau saran bagian Konsultasi Pajak bisa dianulir oleh bag Pemeriksa yang lain.... bubarkan saja bagian Konsultasi itu....kasihan kalah pinter dengan staff yang lain. Mau benar saja susah pak..... Tolong saran anda ???? Terima kasih

Sehubungan dengan pertanyaan tersebut, berikut akan coba penulis kaji dan bahas sesuai dengan pemikiran dari penulis.

Apabila membaca pertanyaan di atas, maka tampaknya penanya ini adalah seorang dosen tidak tetap yang mungkin mengajar dan mendapatkan penghasilan dari beberapa pemberi kerja (baca: perguruan tinggi). Karena disebutkan bahwa yang bersangkutan adalah dosen part time, maka penulis beranggapan bahwa penanya ini berstatus sebagai dosen honorer pada beberapa perguruan tinggi, sehingga ia akan menerima penghasilan berupa honor yang dihitung berdasarkan jumlah jam mengajarnya. Sehingga menurut ketentuan PPh Pasal 21 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009, statusnya dikategorikan sebagai pegawai tidak tetap.

Ketika menerima honor dari setiap pemberi kerja tempatnya mengajar, maka ia akan dipotong PPh Pasal 21. Pada saat akhir tahun, dosen tidak tetap ini harus melaporkan seluruh penghasilan yang diterimanya sebagai dosen tidak tetap dari berbagai perguruan tinggi dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya. Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya tersebut tidak hanya sebatas penghasilan dari honor dosen tersebut, namun seluruh penghasilan yang diterima selama setahun (karena umumnya dosen honorer itu adalah praktisi dan memiliki pekerjaan tetap lainnya).

Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi atas penghasilan yang berasal dari honor sebagai dosen honorer ini dilaporkan sebagai "Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan Dengan Pekerjaan". Sebagai informasi, apabila dosen ini bekerja pada beberapa pemberi kerja dan tidak mendapatkan penghasilan dari usaha bebas atau pekerjaan bebas (memiliki usaha sendiri/praktek sendiri, misalnya mempunyai kantor sendiri seperti konsultan, pengacara, dokter, membuka toko, rumah makan dan sejenisnya), maka formulir SPT yang digunakan adalah Formulir berkode 1770 S. Namun apabila ia memperoleh penghasilan juga dari usaha bebas atau pekerjaan bebas, maka Formulir SPT yang digunakan adalah Formulir yang berkode: 1770.

Kembali ke kasus di atas, apabila penghasilan yang diperoleh oleh dosen ini memang hanya berasal dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan (artinya ia bekerja dan diberi imbalan oleh pemberi kerja), maka seharusnya penjelasan yang diterimanya dari Bagian Konsultasi Kantor Pelayanan Pajak) adalah salah. Karena penggunaan norma penghitungan penghasilan neto hanya diterapkan bagi Wajib Pajak yang menerima penghasilan dari pekerjaan bebas dan usaha bebas. Yang termasuk pekerjaan bebas adalah dokter yang berpraktek pada pada rumah sakit atau tenaga ahli selain dokter (menurut PER-57/PJ/2009) dan petugas dinas luar asuransi, distributor perusahaan MLM/direct selling (menurut SE-100/PJ/2009). Jadi dosen honorer ini tidak berhak untuk menggunakan metode norma penghitungan penghasilan neto.

Satu lagi kesalahan atas apa yang disampaikan oleh pihak Bagian Konsultasi Kantor Pelayanan Pajak adalah mengenai penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan kode 90200 atas penghasilan yang diterima dari honor sebagai dosen part time. Menurut penulis mungkin kode yang dimaksud adalah 92000 karena dalam daftar Norma Penghitungan Penghasilan Neto menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000 tidak ada kode 90200, namun kode terdekat yang ada adalah kode 92000). Jika kita lihat dalam keterangan kode norma 92000 tersebut adalah digunakan untuk "Jasa Pendidikan: Yaitu pendidikan formal mulai dari pra sekolah (TK), SD, SLTP, SLTA dan Akademi/Perguruan Tinggi." Sebenarnya penggunaan norma dengan kode 92000 ini adalah untuk orang pribadi yang menyelenggarakan jasa pendidikan, misalnya membuka sekolah dan mengelola sekolah ini sendiri. Jadi kode norma ini bukan diperuntukkan bagi pengajar yang menerima penghasilan dari tempat yang menyelenggarakan jasa pendidikan.

Perhitungan penghasilan neto yang diterima oleh dosen yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh-nya adalah, seluruh penghasilan neto yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (yang seluruhnya diterima dalam tahun pajak yang sama) kemudian dikurangkan dengan pembayaran zakat/sumbangan keagamaan yang wajib yang diakui oleh ketentuan perpajakan (apabila ada) dan kemudian dikurangkan lagi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Hasil perhitungan tersebut diperoleh Penghasilan Kena Pajak. Besarnya PPh yang terutang adalah atas Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU No. 36 Tahun 2008. PPh yang masih harus dibayar oleh dosen ini dari perhitungan di atas adalah selisih antara PPh yang terutang yang dikurangkan dengan kredit pajak PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh pemberi kerja (perguruan tinggi), sesuai yang tercantum dalam Bukti Pemotongan.

Contoh:
Prof. Dr. Andi Riyanto adalah dosen tidak tetap pada Perguruan Tinggi (PT) A, B dan C. Selama tahun 2010 menerima penghasilan berupa honor mengajar dari (yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh Pasal 21):
- PT A: Penghasilan Neto Rp 50.000.000 dengan PPh Pasal 21 dipotong Rp 2.500.000
- PT B: Penghasilan Neto Rp 30.000.000 dengan PPh Pasal 21 dipotong Rp 1.500.000
- PT C: Penghasilan Neto Rp 40.000.000 dengan PPh Pasal 21 dipotong Rp 2.000.000
Status PTKP Prof. Dr. Andi Riyanto adalah K/0.

Maka perhitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2010 milik Prof. Dr. Andi Riyanto adalah:
Jumlah Penghasilan Neto (di 3 Perguruan Tinggi): Rp 120.000.000
Dikurangi PTKP (K/0) --------------------------: Rp 17.160.000
Penghasilan Kena Pajak -------------------------: Rp 102.840.000

PPh Terutang (Tarif Pasal 17) -------------------: Rp 10.426.000
PPh Pasal 21 yang telah dipotong PT A, B, dan C : Rp 6.000.000
PPh yang kurang bayar -------------------------: Rp 4.426.000

Jumlah PPh yang masih harus dibayarkan sendiri oleh Prof. Dr. Andi Riyanto adalah sebesar Rp 4.426.000 yang harus dibayar sebelum menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2010.

Selasa, 23 November 2010

Metode Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (Bagian 2)

Sambungan dari Bagian Satu

Jika sebelum berlakunya PER-32/PJ/2010, maka Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT) yang tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain yang bersifat tidak final akan dianggap sebesar 2% dari Peredaran Bruto (omzet). Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a KEP-171/PJ./2002. Sehingga pada akhir tahun, Wajib Pajak tidak perlu lagi menghitung besarnya penghasilan neto serta besarnya PPh terutang atas penghasilan yang telah diterimanya, karena setoran PPh Pasal 25 setiap bulannya yang sebesar 2% dari omzet tersebut telah dianggap final.

Namun hal ini tidak lagi berlaku sejak berlakunya PER-32/PJ/2010 (sejak tanggal 12 Juli 2010). Sejak berlakunya PER-32/PJ/2010 mulai tanggal 12 Juli 2010, WP OPPT setiap bulannya membayar angsuran PPh Pasal 25 sebesar 0,75% dari peredaran bruto atas masing-masing tempat usahanya dan ini merupakan kredit pajak atas PPh yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan (menurut Pasal 3 ayat (3) PER-32/PJ/2010). Sehingga pada akhir tahun WP OPPT ini tetap harus menghitung besarnya Penghasilan neto yang diterima selama satu tahun pajak serta besarnya PPh terutang atas penghasilannya tersebut.

Sedangkan metode penentuan besarnya penghasilan neto tidak diatur dalam PER-32/PJ/2010 ini. Sehingga menurut penulis, cara penentuan besarnya penghasilan neto dikembalikan kepada ketentuan yang berlaku umum. Secara umum, penentuan besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dapat menggunakan dua metode yaitu metode Pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan metode Pembukuan. Kedua metode penentuan besarnya penghasilan neto ini akan penulis bahas pada bagian tulisan berikutnya.

Penulis menyayangkan bahwa PER-32/PJ/2010 ini berlaku di tengah tahun sehingga hal ini akan menyulitkan bagi Wajib Pajak dalam menerapkan perubahan ini. Karena untuk tahun pajak 2010 ini, berarti ada 2 metode penghitungan penghasilan neto bagi WP OPPT berdasarkan perubahan ketentuan ini, yaitu PPh terutang yang telah dianggap final (dari angsuran PPh Pasal 25 setiap bulannya) sebesar 2% dari omzet untuk periode 1 Januari 2010 sampai dengan 11 Juli 2010. Sedangkan mulai periode 12 Juli 2010 WP OPPT harus menghitung penghasilan netonya menggunakan metode umum (baik metode pencatatan ataupun pembukuan).

Sebenarnya mungkin filosofi dari perubahan ketentuan ini bermaksud bahwa untuk tahun pajak 2010, WP OPPT harus menghitung penghasilan neto yang diterima sejak 1 Januari 2010 s.d. 31 Desember 2010 dengan menggunakan metode umum serta PPh Pasal 25 yang telah disetor sampai dengan 11 Juli 2010 (sebesar 2% akan dianggap sebagai kredit pajak), namun karena tidak adanya penegasan lebih lanjut dalam PER-32/PJ/2010 maka menurut penulis akan timbul sengketa (dispute) dalam prakteknya di lapangan, dan masing-masing pihak yang nantinya bersengketa tentunya akan menggunakan metode yang menurutnya paling menguntungkan.

Bersambung ke Bagian Tiga

Jumat, 05 November 2010

Metode Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (Bagian 1)

Pendahuluan

Dalam ketentuan perpajakan dan berdasarkan jenis penghasilannya, Wajib Pajak Orang Pribadi dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) kelompok utama, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi yang bekerja/menerima penghasilan dari pemberi kerja dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki usaha dan pekerjaan bebas.

Wajib Pajak orang pribadi yang bekerja dan menerima penghasilan dari pemberi kerja ini biasanya kita kenal sebagai karyawan, pekerja, penerima imbalan sehubungan dengan pekerjaan/kontrak kerja, contohnya seperti: karyawan, direktur dan komisaris yang dibayar gaji/honor, pegawai harian, pegawai magang, dan sejenisnya.

Sedangkan Wajib Pajak orang pribadi yang dikategorikan sebagai memiliki usaha dan pekerjaan bebas, biasanya orang pribadi ini memiliki suatu usaha atau pekerjaan yang dikelola sendiri, mencari calon pembeli dan memasarkan hasil produknya sendiri tanpa mendapat perintah dari seseorang atau suatu badan pemberi kerja. Orang pribadi yang memiliki pekerjaan bebas contohnya seperti, pengacara, dokter, konsultan hukum, konsultan bisnis, manajemen, keuangan, akuntansi, perpajakan, arsitek dan sejenisnya yang mendapatkan penghasilan karena menawarkan jasa keahliannya kepada pengguna jasanya (bukan dipekerjakan pada majikan pemberi penghasilan). Sedangkan orang pribadi yang memiliki usaha bebas contohnya orang yang membuka toko, membuka kantor jasa yang bersifat perorangan dan sejenisnya.

Dalam pengenaan PPh, orang pribadi yang bekerja dan menerima penghasilan, akan dipotong PPh yang disebut sebagai PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja. Seluruh penghasilan dan gaji yang diterima selama setahun ini kelak pada akhir tahun akan dihitung ulang sedangkan PPh terutangnya akan diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong selama tahun berjalan oleh pemberi kerja. Dalam perhitungannya, penghasilan berupa gaji dan imbalan yang diperoleh akan dikurangkan dengan biaya-biaya yang diperkenankan berupa biaya jabatan, iuran pensiun dan sejenisnya yang telah dipotong oleh pemberi kerja.

Jadi untuk Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari pemberi kerja ini, perhitungannya tidaklah terlalu rumit dan Wajib Pajak yang bersangkutan tidak perlu menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan khusus. Yang diperlukan hanyalah mengumpulkan bukti-bukti pembayaran dan pemotongan penghasilan yang diperoleh dari pemberi kerja.

Khusus untuk Wajib Pajak yang memiliki pekerjaan dan usaha bebas, dalam menghitung Penghasilan kena pajak dibutuhkan pencatatan/pembukuan serta perhitungan yang lebih mendetil dan lebih rumit. Karena mereka perlu menentukan terlebih dahulu penghasilan neto yang telah diperoleh selama setahun untuk usaha dan pekerjaan yang telah mereka lakukan. Pada tulisan berikut dan tulisan-tulisan selanjutnya, penulis akan khusus membahas mengenai metode penghitungan penghasilan neto untuk orang pribadi yang memiliki usaha dan pekerjaan bebas ini.

Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Memiliki Usaha dan Pekerjaan Bebas

Dalam ketentuan perpajakan, metode penghitungan penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Memiliki Usaha dan Pekerjaan Bebas dapat menggunakan 3 (tiga) metode, yaitu:
  1. Penghitungan Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
  2. Penghitungan Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan Pedoman Norma Penghitungan Penghasilan Neto
  3. Penghitungan Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menyelenggarakan pembukuan.

Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, Bayar PPh Pasal 25 tarif 0,75%

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.03/2009 tanggal 10 Desember 2009, Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT) adalah Wajib Pajak Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai pedagang pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 (yang mulai berlaku 1 Januari 2009) ditegaskan bahwa besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu (WP OPPT), ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut.

Kriteria Wajib Pajak orang pribadi yang dapat dikategorikan sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT) ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 tanggal 12 Juli 2010. Ditegaskan bahwa yang termasuk sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai Pedagang Pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha. Pedagang Pengecer yang dimaksud adalah orang pribadi yang melakukan:
a. penjualan barang baik secara grosir maupun eceran; dan/atau
b. penyerahan jasa,
melalui suatu tempat usaha.

Jadi apabila orang pribadi yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, dalam menentukan berapa besar angsuran PPh Pasal 25 yang harus disetorkan setiap bulannya adalah dengan menggunakan metode yang sederhana yaitu besarnya ditetapkan sebesar 0,75% dari peredaran bruto (omzet) perbulan yang diperolehnya dari setiap tempat usahanya. PPh ini disetorkan/dilaporkan setiap bulannya sebagai PPh Pasal 25. Sedangkan pada akhir tahun seluruh penghasilan yang diperoleh pada setiap cabang digabungkan dan dihitung kembali besarnya penghasilan kena pajak dan PPh Terutangnya. PPh Pasal 25 yang telah disetorkan setiap bulannya (yang sebesar 0,75% dari omzet), adalah merupakan kredit pajak pengurang dari PPh terutang yang telah dihitung kembali pada akhir tahun tersebut. Dalam pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu ini cukup melaporkan seluruh omzet yang diperolehnya selama setahun serta PPh Pasal 25 yang telah disetorkan setiap bulannya (sebesar 0,75% dari omzet) dengan melampirkan dengan melampirkan daftar jumlah penghasilan dan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing tempat usaha ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010.

Kebijakan ini berbeda dengan perlakuan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu sebelumnya. Kebijakan sebelumnya (berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-171/PJ./2002 yang berlaku hingga 11 Juli 2010 seiring dengan berlakuknya PER-32/PJ/2010) disebutkan bahwa pembayaran PPh Pasal 25 yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak OPPT (menurut ketentuan KEP-171/PJ./2002 ini besarnya adalah sebesar 2% dari omzet setiap bulannya) selama tahun berjalan akan dianggap sebagai Pelunasan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan apabila Wajib Pajak tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final. Oleh sebab itu maka pada akhir tahun, Wajib Pajak ini tidak perlu lagi menghitung/mencari besarnya penghasilan netto dan penghasilan kena pajak atas seluruh penghasilan yang diterimanya selama setahun, karena pembayaran PPh Pasal 25 sebesar 2% dari omzet setiap bulannya dianggap sebagai final.

Oleh sebab itu, menurut penulis terdapat adanya ketentuan yang mengatur berbeda dalam periode tahun 2010 atas perlakuan terhadap penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak OPPT dianggap telah final karena telah menyetorkan PPh Pasal 25 sebesar 2% dari omzet (Pasal 4 huruf a KEP-171/PJ./2002) dengan ketentuan bahwa PPh Pasal 25 sebesar 0,75% yang disetorkan oleh Wajib Pajak OPPT adalah merupakan kredit pajak dari PPh terutang atas penghasilan yang diperoleh selama satu tahun pajak (Pasal 3 ayat (3) PER-32/PJ/2010).

Bersambung ke Bagian Dua