..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Tax Consultation. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tax Consultation. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 April 2020

Layanan Konsultasi SPT Tahunan Call Center Kring Pajak via WhatsApp

Sudahkah Anda melaporkan SPT Tahunan PPh pribadi atau badan usaha Anda untuk Tahun Pajak 2019 ini? Ingat bahwa batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2019 akan berakhir pada tanggal 30 April 2020. Mungkin sebagian besar Pembaca Setia Tax Learning telah memenuhi kewajiban perpajakannya dengan melaporkan SPT Tahunannya tersebut. Dan mungkin juga saat ini ada sebagian kecil dari Pembaca Setia Tax Learning yang sedang menyiapkan SPT Tahunannya untuk dilaporkan.

Dalam masa pencegahan penyebaran Virus Corona (Covid-19) ini, tentulah membuat segala aktivitas kita menjadi terbatas, hal ini juga termasuk untuk aktivitas memenuhi kewajiban perpajakan. Mungkin ada sebagian dari Pembaca Setia Tax Learning yang kesulitan harus berkonsultasi atau bertanya kepada petugas pajak, namun Kantor Pelayanan Pajak ditutup hingga tanggal 29 Mei 2020.

Tidak perlu bingung dengan hal ini, sebab selama seminggu sejak tanggal 24 April 2020 hingga 30 April 2020, layanan perpajakan melalui saluran telepon Kring Pajak di nomor 1500200 membuka jenis layanan baru melalui platform WhatsApp. Layanan ini disediakan khusus untuk Wajib Pajak khusus untuk:
  1. Informasi lupa EFIN
  2. DJP Online (e-Form dan e-Filing)
  3. Pengisian dan Pelaporan SPT Tahunan
Layanan ini dapat diakses oleh Wajib Pajak dari pukul 08.00 s.d. 20.00 WIB melalui link berikut ini: https://linktr.ee/kringpajak_whatsapp

Di samping itu, untuk layanan perpajakan lainnya, Wajib Pajak juga dapat menghubungi secara online melalui saluran telepon, email pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) masing-masing tempat Wajib Pajak terdaftar yang daftarnya dapat dilihat pada TABEL BERIKUT INI.

Selamat melaksanakan kewajiban perpajakan Anda dan juga selamat menjalankan ibadah puasa bagi Pembaca Setia Tax Learning yang menjalankannya.

Senin, 13 Desember 2010

Penyerahan Ikan Termasuk sebagai Penyerahan yang Tidak Terutang PPN

Untuk menentukan apakah suatu jenis transaksi terutang PPN, kunci utama yang harus kita lakukan adalah menentukan apakah objek penyerahan dalam transaksi tersebut merupakan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Dasar menentukan apakah objek penyerahan tersebut termasuk BKP atau JKP adalah dengan berpedoman pada Pasal 4A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN).

Pasal 4A UU PPN ini biasanya disebut sebagai negative list, karena berisi jenis-jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN. Selain barang atau jasa yang tercantum dalam Pasal 4A ini adalah merupakan BKP dan JKP, sehingga atas penyerahan barang dan jasa selain pada Pasal 4A ini akan terutang PPN.

Saat ini masyarakat masih sering bingung dalam menentukan BKP dan JKP, namun penulis menyarankan agar para Pembaca Setia Tax Learning berpedoman pada Pasal 4A ini.

Salah satu contoh untuk menentukan apakah atas suatu transaksi terutang PPN, seperti pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang Pembaca Setia Tax Learning melalui email:
malm pak ni ada sedikit pertanyaan yang mau saya tanyakan... mengenai BKP (barang kena pajak) PPN, apakah hasil ikan yang ditangkap di laut merupakan objek kena pajak PPN atau bebas, mengingat di UU PPN tidak dijelaskan secara terperinci mengenai hasil laut.....dan apabila kita mengadakan kegiatan impor apakah juga bebas PPN atau dikenakan.... makasih pak anto thnxs

Jawab:

Dasar hukum tentang Barang-barang yang dikecualikan dari pengenaan PPN (non BKP) diatur dalam Pasal 4A ayat (2) UU PPN.
Pada penjelasan ayat ini (terutama pada huruf b) dapat kita temukan bahwa Barang Kebutuhan Pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak adalah termasuk sebagai non BKP. Barang-barang ini antara lain adalah daging (huruf g). Definisi dari daging menurut penjelasan ayat ini adalah:
"daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;"
Kembali ke pertanyaan Anda, ikan adalah termasuk sebagai "daging". Apabila ikan ini diserahkan di dalam daerah pabean, tanpa melalui proses pengolahan lebih lanjut, maka ikan dapat dikategorikan sebagai non BKP sehingga atas penyerahan ikan di dalam daerah pabean adalah tidak terutang PPN. Hal ini berlaku juga untuk kegiatan impor.
Pengertian dari ikan sebagai daging segar yang tidak diolah, yang merupakan non BKP, adalah apabila ikan yang diserahkan tidak mengalami proses pengolahan lebih lanjut. Namun atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan agar ikan tersebut dapat dijual/diserahkan meliputi kegiatan proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus, tidak termasuk kriteria sebagai diolah lebih lanjut sehingga atas penyerahan ikan yang telah melalui tahap proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus ini tidak terutang PPN.

Jumat, 26 November 2010

Perhitungan PPh untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dosen Tidak Tetap

Membaca tanggapan di salah satu artikel mengenai konsultasi perpajakan di situs detik.com, penulis menjadi tertarik untuk membahasnya. Apalagi tanggapan dan pertanyaan dari salah seorang pembaca tersebut tidak direspon oleh pihak pengelola konsultasi perpajakan di situs detik.com tersebut. Berikut kutipan dari pertanyaan tersebut:

Bapak yth., Saya juga freelancer alias dosen part time, pajak sudah dipotong...dan buktinya pun saya lampirkan pada waktu lapor PPh, tapi saya minta saran bagian Konsultasi di KP Bekasi Utara. Saya disarankan untuk memakai Norma 90200 Tahun pertama OK ada lebih bayar dan dikembalikan... Bagus. Tahun kedua saya ulangi, minta saran lagi, tahun ini katanya nggak 25 % tapi 30% Normanya, OK saya ikuti. Tapi bagian Pemeriksaan kali ini menolak saran dari bag.konsultasi, alasannya macem2 tapi menurut dia setiap orang boleh menafsirkan UU Pajak secara berbeda. Minta saran Kanwil... nggak tau apa hasilnya. Jadi kalau saran bagian Konsultasi Pajak bisa dianulir oleh bag Pemeriksa yang lain.... bubarkan saja bagian Konsultasi itu....kasihan kalah pinter dengan staff yang lain. Mau benar saja susah pak..... Tolong saran anda ???? Terima kasih

Sehubungan dengan pertanyaan tersebut, berikut akan coba penulis kaji dan bahas sesuai dengan pemikiran dari penulis.

Apabila membaca pertanyaan di atas, maka tampaknya penanya ini adalah seorang dosen tidak tetap yang mungkin mengajar dan mendapatkan penghasilan dari beberapa pemberi kerja (baca: perguruan tinggi). Karena disebutkan bahwa yang bersangkutan adalah dosen part time, maka penulis beranggapan bahwa penanya ini berstatus sebagai dosen honorer pada beberapa perguruan tinggi, sehingga ia akan menerima penghasilan berupa honor yang dihitung berdasarkan jumlah jam mengajarnya. Sehingga menurut ketentuan PPh Pasal 21 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009, statusnya dikategorikan sebagai pegawai tidak tetap.

Ketika menerima honor dari setiap pemberi kerja tempatnya mengajar, maka ia akan dipotong PPh Pasal 21. Pada saat akhir tahun, dosen tidak tetap ini harus melaporkan seluruh penghasilan yang diterimanya sebagai dosen tidak tetap dari berbagai perguruan tinggi dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya. Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya tersebut tidak hanya sebatas penghasilan dari honor dosen tersebut, namun seluruh penghasilan yang diterima selama setahun (karena umumnya dosen honorer itu adalah praktisi dan memiliki pekerjaan tetap lainnya).

Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi atas penghasilan yang berasal dari honor sebagai dosen honorer ini dilaporkan sebagai "Penghasilan Neto Dalam Negeri Sehubungan Dengan Pekerjaan". Sebagai informasi, apabila dosen ini bekerja pada beberapa pemberi kerja dan tidak mendapatkan penghasilan dari usaha bebas atau pekerjaan bebas (memiliki usaha sendiri/praktek sendiri, misalnya mempunyai kantor sendiri seperti konsultan, pengacara, dokter, membuka toko, rumah makan dan sejenisnya), maka formulir SPT yang digunakan adalah Formulir berkode 1770 S. Namun apabila ia memperoleh penghasilan juga dari usaha bebas atau pekerjaan bebas, maka Formulir SPT yang digunakan adalah Formulir yang berkode: 1770.

Kembali ke kasus di atas, apabila penghasilan yang diperoleh oleh dosen ini memang hanya berasal dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan (artinya ia bekerja dan diberi imbalan oleh pemberi kerja), maka seharusnya penjelasan yang diterimanya dari Bagian Konsultasi Kantor Pelayanan Pajak) adalah salah. Karena penggunaan norma penghitungan penghasilan neto hanya diterapkan bagi Wajib Pajak yang menerima penghasilan dari pekerjaan bebas dan usaha bebas. Yang termasuk pekerjaan bebas adalah dokter yang berpraktek pada pada rumah sakit atau tenaga ahli selain dokter (menurut PER-57/PJ/2009) dan petugas dinas luar asuransi, distributor perusahaan MLM/direct selling (menurut SE-100/PJ/2009). Jadi dosen honorer ini tidak berhak untuk menggunakan metode norma penghitungan penghasilan neto.

Satu lagi kesalahan atas apa yang disampaikan oleh pihak Bagian Konsultasi Kantor Pelayanan Pajak adalah mengenai penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan kode 90200 atas penghasilan yang diterima dari honor sebagai dosen part time. Menurut penulis mungkin kode yang dimaksud adalah 92000 karena dalam daftar Norma Penghitungan Penghasilan Neto menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000 tidak ada kode 90200, namun kode terdekat yang ada adalah kode 92000). Jika kita lihat dalam keterangan kode norma 92000 tersebut adalah digunakan untuk "Jasa Pendidikan: Yaitu pendidikan formal mulai dari pra sekolah (TK), SD, SLTP, SLTA dan Akademi/Perguruan Tinggi." Sebenarnya penggunaan norma dengan kode 92000 ini adalah untuk orang pribadi yang menyelenggarakan jasa pendidikan, misalnya membuka sekolah dan mengelola sekolah ini sendiri. Jadi kode norma ini bukan diperuntukkan bagi pengajar yang menerima penghasilan dari tempat yang menyelenggarakan jasa pendidikan.

Perhitungan penghasilan neto yang diterima oleh dosen yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh-nya adalah, seluruh penghasilan neto yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (yang seluruhnya diterima dalam tahun pajak yang sama) kemudian dikurangkan dengan pembayaran zakat/sumbangan keagamaan yang wajib yang diakui oleh ketentuan perpajakan (apabila ada) dan kemudian dikurangkan lagi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Hasil perhitungan tersebut diperoleh Penghasilan Kena Pajak. Besarnya PPh yang terutang adalah atas Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU No. 36 Tahun 2008. PPh yang masih harus dibayar oleh dosen ini dari perhitungan di atas adalah selisih antara PPh yang terutang yang dikurangkan dengan kredit pajak PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh pemberi kerja (perguruan tinggi), sesuai yang tercantum dalam Bukti Pemotongan.

Contoh:
Prof. Dr. Andi Riyanto adalah dosen tidak tetap pada Perguruan Tinggi (PT) A, B dan C. Selama tahun 2010 menerima penghasilan berupa honor mengajar dari (yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh Pasal 21):
- PT A: Penghasilan Neto Rp 50.000.000 dengan PPh Pasal 21 dipotong Rp 2.500.000
- PT B: Penghasilan Neto Rp 30.000.000 dengan PPh Pasal 21 dipotong Rp 1.500.000
- PT C: Penghasilan Neto Rp 40.000.000 dengan PPh Pasal 21 dipotong Rp 2.000.000
Status PTKP Prof. Dr. Andi Riyanto adalah K/0.

Maka perhitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2010 milik Prof. Dr. Andi Riyanto adalah:
Jumlah Penghasilan Neto (di 3 Perguruan Tinggi): Rp 120.000.000
Dikurangi PTKP (K/0) --------------------------: Rp 17.160.000
Penghasilan Kena Pajak -------------------------: Rp 102.840.000

PPh Terutang (Tarif Pasal 17) -------------------: Rp 10.426.000
PPh Pasal 21 yang telah dipotong PT A, B, dan C : Rp 6.000.000
PPh yang kurang bayar -------------------------: Rp 4.426.000

Jumlah PPh yang masih harus dibayarkan sendiri oleh Prof. Dr. Andi Riyanto adalah sebesar Rp 4.426.000 yang harus dibayar sebelum menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2010.

Rabu, 13 Oktober 2010

Konsultasi Pajak Gratis: Jawaban atas Beberapa Pertanyaan

Akibat dari kesibukan yang dialami oleh pengelola blog Tax Learning selama beberapa waktu terakhir ini, mengakibatkan banyak sekali pertanyaan yang masuk (baik melalui email, maupun posting komentar) yang tidak sempat dijawab oleh penulis. Karena semakin banyak pertanyaan yang tertumpuk, mengakibatkan penulis kesulitan dalam membuka arsip pertanyaan lama. Akibatnya tentulah banyak pertanyaan dari Pembaca Setia Tax Learning yang tidak mendapatkan respon dari penulis. Tentunya ini menimbulkan kekecewaan bagi para Pembaca Setia Tax Learning.

Untuk itulah, pada saat ini penulis menyampaikan permintaan maaf atas keterbatasan dari Penulis ini. Hal ini disebabkan karena terbatasnya sumber daya manusia (karena blog ini dikelola sendiri oleh penulis), serta keterbatasan sumber dana (sehingga hingga saat ini masih menggunakan hosting gratis di blogspot) sehingga manajemen database untuk merespon pertanyaan yang masuk sangat sulit. Namun penulis bertekad, akan terus mengembangkan blog ini (terutama jika sumber dana dari iklan mencukupi, dan ini sangat diperlukan bantuan dari para Pembaca Setia Tax Learning dalam mengunjungi blog ini dan juga mengunjungi para sponsor blog ini). Saat ini penulis berkonsentrasi untuk dapat menjawab seluruh pertanyaan dari para Pembaca Setia Tax Learning.

Berikut beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Pembaca Setia Tax Learning.

1. Pencabutan NPWP Wajib Pajak Meninggal Yang Meninggalkan Warisan

Pertanyaan:
Numpang tanya, Ibu saya memiliki usaha toko meninggal dunia pada September 2009. Saya disarankan untuk tetap membayarkan pph pasal 25 ibu saya sampai akhir thn pajak, jd saya bayar sampai Desember 2009. Desember 2009 saya mengajukan permohonan penutupan NPWP Ibu saya krn meninggal dunia. Maret 2010 saya dihubungi petugas KPP lokasi (tempat ibu saya buka toko), petugasnya meminta copy NPWP saya dan copy Akte Waris. Saya keberatan NPWP saya dikaitkan dengan Ibu saya terutama kalau Penghapusan NPWP beliau belum selesai. Saudara2 keberatan memberikan copy Akte Waris krn tidak ada hubungannya dengan permohonan penutupan.

Herannya petugas KPP domisili tidak menghubungi saya sama sekali. Pertanyaan saya, apakah copy NPWP saya dan copy Akte Waris benar diperlukan untuk penutupan NPWP Ibu saya di KPP lokasi? Terima kasih atas bantuannya.
Dari Ina Junita, April 8, 2010 8:15 PM

Jawab:
Dalam proses pencabutan NPWP atas orang yang telah meninggal dunia, apabila pemilik NPWP yang meninggal tersebut tidak memiliki harta warisan, maka NPWP dapat langsung dicabut. Namun apabila pemilik NPWP yang meninggal tersebut memiliki harta warisan, maka harta warisan ini harus diwariskan terlebih dahulu kepada para ahli warisnya (secara legal umumnya ini dibuktikan akta waris). Kemudian para ahli waris yang menerima harta dan penghasilan dari warisan ini haruslah telah memiliki NPWP dan kelak melaporkan penghasilan dan harta yang diterima dari warisan ini.
Apabila harta milik orang yang meninggal tersebut masih belum terbagikan, maka dalam istilah perpajakan disebut sebagai ”warisan belum terbagi” dan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 UU PPh, warisan belum terbagi ini dianggap sebagai subjek pajak dan tetap harus menjalankan ”kewajiban pajaknya”. Jadi dalam hal ini apa yang dilakukan oleh petugas KPP Lokasi telah sesuai ketentuan.
Mengenai pertanyaan Anda bahwa pihak KPP domisili tidak pernah menghubungi Anda, ini adalah karena Anda tidak mengajukan pencabutan NPWP ke KPP domisili, namun pencabutan ini diajukan ke KPP lokasi, sehingga pihak KPP lokasi yang harus memverifikasi Anda. Yang perlu Anda perhatikan adalah bahwa pihak KPP lokasi yang memverifikasi Anda tersebut harus menjalankan tugasnya sesuai dengan kewenangannya, dan Anda juga memiliki hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU KUP.

2. Saat Penerbitan Faktur Pajak

Pertanyaan:
Saya menerbitkan faktur pajak biasanya setiap awal bulan, tapi didalam keterangan untuk barang kena pajak pemakaian bulan sebelumnya. Apakah faktur pajak kami tersebut cacat. Contoh faktur pajak tgl 1 Mei, untuk pemakaian jasa bulan April. Tq
Dari Mery, April 24, 2010 2:46 PM

Jawab:
Kalau saya analisis dari pernyataan Anda ini, maka Faktur Pajak yang Anda terbitkan ini harus kita bagi menjadi 2 periode:
1) Periode transaksi sebelum 1 April 2010 (sesuai UU Nomor 18 Tahun 2000)
Untuk periode ini, ketentuan penerbitan Faktur Pajak adalah: harus diterbitkan pada tanggal transaksi dan paling lambat dapat diterbitkan adalah pada akhir bulan berikutnya setelah bulan transaksi tersebut, kecuali jika didahului dengan pembayaran uang, maka Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal pembayaran tersebut dilakukan.
Contoh:
Transaksi penyerahan jasa (pemakaian jasa) dilakukan pada tanggal 1 Januari 2010, apabila sampai dengan tanggal 28 Februari 2010 (akhir bulan berikutnya) belum ada pembayaran uang atas jasa tersebut, maka Faktur Pajak dapat dibuat untuk tanggal 1 Januari 2010 s.d. tanggal 28 Februari 2010 (paling lambat).
Namun apabila ternyata pada tanggal 20 Januari 2010 telah terjadi pembayaran uang tunai maka Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 20 Januari 2010.

2) Periode transaksi mulai 1 April 2010 s.d. sekarang (sesuai UU Nomor 42 Tahun 2009)
Untuk periode ini, ketentuan penerbitan Faktur Pajak adalah: harus dibuat pada tanggal transaksi dilakukan atau apabila ada pembayaran uang muka, maka Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal dibayarnya uang muka tersebut.
Contoh:
Transaksi penyerahan jasa (pemakaian jasa) dilakukan pada tanggal 5 April 2010, pembayaran uang atas jasa tersebut baru dilakukan pada tanggal 1 Mei 2010, maka Faktur Pajak harus dibuat tanggal 5 April 2010.
Namun apabila ternyata pada tanggal 1 April 2010 telah terjadi pembayaran uang muka, maka Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 April 2010 untuk pembayaran uang muka tersebut.

Jadi apabila Faktur Pajak untuk transaksi pada kedua periode tersebut diterbitkan melampaui waktu sebagaimana penulis jelaskan di atas, maka Faktur Pajak tersebut akan dianggap cacat (tidak memenuhi syarat formal dan material).

3. PPh Atas Usaha Jasa Konstruksi

Pertanyaan:
Mohon bantuannya...
Saya punya Usaha Konstruksi dalam bentuk CV. yang bergerak dalam bidang General Trading & Contractor.
Dari Nilai PO (Jasa + Material), apakah betul saya dikenakan Potongan PPh 4 Ayat 2 Final atas Penghasilan yang diterima?
DPP pada PPh 4 Ayat 2 Final meliputi Jasa Konstruksi saja ataukah Jasa + Material?
Pada PO tidak dipisahkan antara Jasa & Material. Bagaimana sebaiknya, apakah harus dipisahkan?
Berapa Tarif yang dikenakan pada Penghasilan CV. saya, apabila CV. saya belum mempunyai SIUJK?
Apakah betul DPP pada PPh 4 Ayat 2 Final adalah sama dengan DPP pada PPN?
Pada PO tercantum Pembayaran sebanyak 4x, D/P 30%, Termin I 30%, Termin II 35%, Termin III 5%. Pada Faktur Pajak (PPN) Kolom BKP/JKP, saya tulis Uang Muka sebesar 30% atas Pengadaan CME & Instalasinya. Apakah betul kalimat yang saya tulis tersebut? Apakah jumlah Prosentase Pembayaran perlu dicantumkan atau tidak?
Mohon Penjelasannya, karena saya masih baru.
Terima kasih...
Dari: tanpa nama, May 31, 2010 12:10 PM

Jawab:
Ketentuan mengenai penghasilan dari usaha jasa konstruksi saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009.
Pada Pasal 5 ayat (2) PP Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 ditegaskan bahwa besarnya PPh yang dipotong adalah atas jumlah pembayaran atau penerimaan pembayaran, tidak termasuk PPN. Pada ayat (3) dijelaskan bahwa jumlah pembayaran atau penerimaan pembayaran ini adalah merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi. Jadi, besarnya PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang adalah atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sesuai nilai kontrak tidak termasuk PPN, berarti baik atas nilai jasa maupun materialnya. Nilai ini adalah juga sebagai nilai DPP PPN.
Mengenai pertanyaan tentang pencantuman uraian pada pembuatan PO (dan mungkin juga untuk penerbitan Faktur Pajak), apa yang Anda tulisakan sebagai ”uang muka...” itu telah benar. Akan lebih baik lagi jika Anda cantumkan persentase pembayarannya, walaupun bila tidak dicantumkan juga tidak berpengaruh, karena telah didukung oleh kontrak kerja.

4. Kewajiban Pajak Orang Pribadi Sebagai Karyawan

Pertanyaan:
mau tanya dong.. saya kan karyawan belum tetap tapi sudah diminta untuk buat NPWP. dan akhirnya saya buat melalui e-reg, tapi saya masih bingung dimana setahu saya, pajak karyawan itu PPH Pasal 21.
tapi waktu saya isi form, saya memilih pilihan “karyawan yg tidak melakukan pekerjaan bebas” apakah itu benar cocok dengan saya yg merupakan karyawan dari sebuah perusahaan swasta? bagaimana ya perhitungan pajaknya? terima kasih sebelumnya..
Dari: Anastasia Vinera, June 7, 2010 1:59 PM

Jawab:
Pilihan pada saat Anda melakukan pendaftaran NPWP sesuai dengan status Anda sebagai karyawan telah benar, yaitu: “karyawan yg tidak melakukan pekerjaan bebas”.
Namun sebagaimana perlu Anda pahami, bahwa kewajiban yang timbul setelah memiliki NPWP adalah kewajiban pajak orang pribadi. Kewajiban dari seorang Wajib Pajak yang statusnya orang pribadi adalah:
- melakukan kewajiban pelaporan PPh Pasal 25 setiap bulannya (kewajiban ini hanya diwajibkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan usaha dan pekerjaan bebas, sedangkan untuk Anda sebagai karyawan, kewajiban ini tidak perlu).
-melakukan kewajiban melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi setahun sekali (kewajiban inilah yang harus Anda penuhi), serta melakukan penyetoran PPh Pasal 29 atas kekurangan bayar PPh selama setahun hasil dari perhitungan kembali dalam SPT Tahunan tersebut (hal ini dimungkinkan terjadi apabila Anda juga memperoleh penghasilan lain-lain di luar gaji dan imbalan sebagai karyawan, yang belum atau kurang dipotong pajak).
Sedangkan kewajiban PPh Pasal 21 itu, adalah kewajiban melakukan pemotongan pajak yang harus dilakukan oleh pemberi kerja ketika ia melakukan pembayaran biaya gaji dan imbalan sehubungan dengan mempekerjakan karyawan. Jadi ketika Anda bekerja sebagai karyawan, maka ketika Anda menerima gaji dari majikan Anda (perusahaan), maka majikan Anda tersebut harus melakukan pemotongan PPh Pasal 21. PPh Pasal 21 ini bukanlah kewajiban Anda, tapi kewajiban majikan Anda untuk memotong pajak atas gaji yang Anda terima.
Bagi Anda, potongan PPh Pasal 21 ini yang dapat diperhitungkan dengan pajak yang terutang kelak (sebagai pengurang/kredit pajak) pada saat Anda menghitung dan membuat SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Apabila penghasilan Anda hanya dari pekerjaan di perusahaan ini, maka besarnya PPh atas gaji Anda yang Anda hitung dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi akan sama besarnya dengan PPh Pasal 21 yang dipotong oleh perusahaan, sehingga sering orang rancu dan menyamakan antara PPh Pasal 21 dengan PPh Orang Pribadi.

5. Pengukuhan Sebagai Pengusaha Kena Pajak

Pertanyaan:
untuk melakukan pengukuhan sebagai pkp, apa saja hal-hal yang diperlukan?
jika perusahaan saat ini sudah berjalan cukup lama (belum menjadi pkp) dan ingin menjadi pkp...namun terdapat perubahan dalam permodalan (modal kerja dll) apakah bisa? (dengan menggunakan identitas perusahaan sebelumnya)...mempertimbangkan pelaporan pajak sebelum menjadi pkp.
jika perusahaan tidak memiliki laporan rinci setiap transaksi - penerimaan netto secara akutansi, adakah metode lain yang disarankan oleh perpajakan?
terima kasih
Dari: tanpa nama, October 5, 2010 10:04 PM

Jawab:
Apabila perubahan modal kerja tersebut tidak mengakibatkan perubahan Nama perusahaan, maka Anda cukup melaporkan perubahan permodalan ini pada saat melaporkan SPT Tahunan PPh Badan. Namun apabila perubahan ini mengakibatkan adanya perubahan nama perusahaan, maka atas perubahan ini Anda harus melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat perusahaan Anda ini terdaftar untuk meng-update identitas Wajib Pajak dengan melampirkan bukti-bukti perubahan (Akta perubahan dan sejenisnya).

Selasa, 13 Juli 2010

Konsultasi Pajak Gratis: Syarat Untuk Bebas Fiskal Luar Negeri

Ketentuan pembayaran Fiskal Luar Negeri bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan bertolak ke Luar Negeri akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2010, sehingga sejak tanggal 1 Januari 2011, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan bertolak ke Luar Negeri akan dibebaskan dari pengenaan Fiskal Luar Negeri tanpa terkecuali. Berarti jangka waktu pengenaan Fiskal Luar Negeri ini hanya tinggal setengah tahun lagi. Namun walaupun demikian, masih banyak Pembaca Setia Tax Learning yang mengajukan pertanyaan kepada penulis seputar ketentuan perpajakan atas pengenaan Fiskal Luar Negeri ini.
Berikut beberapa pertanyaan yang berhasil dirangkum oleh penulis, antara lain:

  1. pak anto saya rachel, saya berumur 21 tahun, dan saya mahasiswa atau belum bekerja sama sekali dan belum berpenghasilan, jadi saya masih tanggungan orang tua, dan bulan depan saya mau berlibur ke LN, pertanyaan saya apakah saya bisa menggunakan npwp papa saya supaya saya bisa bebas fiskal atau saya harus punya npwp sendiri?soalnya kalo saya tidak punya npwp mahal bgt kalo harus byr fiskal 2,5 juta..gmn menurut bpk yang hrs saya lakukan biar saya bisa bebas dari fiskal LN? makasih pak..
  2. dear mas anto^^ saya mo tanya nich....saya mahasiswa umur 24 tahun...saya mau ke LN tapi tidak punya NPWP saya belum kerja....klo saya pakai NPWP adik saya bagaimana dan saya lampir kan KK Nantinya bisa bebas fiskal???
  3. saya mempunyai NPWP,tetapi kedua ortu saya tidak mempunyai NPWP. apa mereka hrs membyar Fiskal? umur bapak saya udah 60 lbh si, atau hanya lampirkan KK dan NPWP saya?atau harus isi fomulir apa? thanks..
  4. Jika saya sudah mempunyai npwp dan orang tua karena tinggal di daerah tidak mempunyai npwp, jadi kalau mao keluar negri dengan memakai npwp saya yang masi dalam 1 kartu keluarga, apakah bisa bebas fiskal. thanks
  5. ibu saya seorang PNS /guru SD,,saya mau keluar negeri karena acara kampuz,,tapi ibu saya tidak punya kartu NPWP karena pendaftarannya secara kolektif,,bukan kah ibu saya wajib pajak??apakah saya tidak bisa bebas biaya fiskal??

Jawab:

Ketentuan mengenai pengenaan Fiskal Luar Negeri terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan bertolak ke Luar Negeri diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Jangka waktu ketentuan mengenai fiskal luar negeri ini berlaku hingga tanggal 31 Desember 2010 sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8a) UU PPh.
Aturan pelaksanaan dari Pasal 25 ayat (8) UU PPh ini diatur lebih lanjut dalam:
-Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
-Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2009.
Artikel mengenai ketentuan fiskal luar negeri ini telah dibahas oleh penulis dalam tulisan berikut:
-Tata Cara Pembayaran dan Pengecualian Pembayaran Fiskal Luar Negeri
-Ralat Kedua Peraturan Dirjen Pajak tentang Fiskal Luar Negeri
-Artikel lainnya tentang Fiskal Luar Negeri

Memang dalam ketentuan Pasal 25 ayat (8) UU PPh, Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 80 Tahun 2008 dan Pasal 2 ayat (1) PER-53/PJ/2008 sebagaimana telah diubah dengan PER-14/PJ/2009 ditegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang akan bertolak ke luar negeri wajib membayar PPh (disebut sebagai Fiskal Luar Negeri). Jadi jika kita mencermati ketentuan ini, maka dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang akan bertolak ke luar negeri wajib memiliki NPWP agar terbebas dari pengenaan Fiskal Luar Negeri (FLN).
Dengan adanya ketentuan ini, maka akan timbul pertanyaan di masyarakat seperti pertanyaan-pertanyaan yang telah penulis ungkapkan di atas ini. Apabila seorang mahasiswa yang belum memiliki penghasilan dan hidupnya masih sepenuhnya ditanggung oleh orang tua seperti kasus Rachel di atas, atau kasus yang dialami oleh mahasiswa yang berumur 24 tahun namun belum memiliki penghasilan tersebut, apakah wajib memiliki NPWP dahulu baru dapat memperoleh pembebasan FLN?
Untuk mengantisipasi hal ini, sebenarnya Dirjen Pajak telah mengeluarkan penegasan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-88/PJ/2008 (artikel dan aturannya dapat dibaca di sini).
Bagi Orang Pribadi yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun namun masih belum memiliki penghasilan atau seluruh kehidupannya masih ditanggung oleh orang tua seperti kasus Rachel tersebut dapat memperoleh pembebasan pengenaan FLN sesuai dengan penegasan dalam angka 1 SE-88/PJ/2008 dimana Orang pribadi dalam negeri yang tidak memenuhi persyaratan sebagai Wajib Pajak dalam negeri karena belum memenuhi syarat objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, tidak wajib membayar FLN dengan melampirkan Surat Pernyataan Berpenghasilan Di Bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (contoh Lampiran II SE-88/PJ/2008).

Sedangkan atas pertanyaan lainnya mengenai ketentuan dapat menanggung anggota keluarga bagi pemilik NPWP, sehingga anggota keluarga yang tidak memiliki NPWP tersebut dapat memanfaatkan fasilitas pembebasan pengenaan FLN dengan menggunakan NPWP keluarga atau saudaranya tersebut, berikut penjelasan yang dapat diberikan. Ketentuan FLN ini adalah berlaku untuk Wajib Pajak Orang Pribadi beserta anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya. Apabila Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah memiliki NPWP akan bertolak ke Luar Negeri, maka anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya juga mendapatkan fasilitas pembebasan FLN dengan menggunakan NPWP Wajib Pajak penanggung sepenuhnya ini, walaupun anggota keluarga tersebut tidak memiliki NPWP. Yang termasuk anggota keluarga yang menjadi tanggungan Wajib Pajak sepenuhnya menurut PER-53/PJ/2008 adalah isteri atau suami, anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya Wajib Pajak (yang memiliki NPWP tersebut) dan diakui oleh Wajib Pajak tersebut berdasarkan dokumen pendukung dan hukum yang berlaku. Jadi disini dapat kita artikan Wajib Pajak yang menanggung sepenuhnya ini adalah merupakan kepala keluarga dan anggota keluarga yang dapat ditanggungnya adalah isteri (atau suami), anak kandung, anak tiri, orang tua kandung, mertua (orang tua kandung isteri atau suami), dan anak angkat yang seluruh kehidupannya ditanggung oleh Wajib Pajak. Ini sama seperti ketentuan untuk PTKP. Jadi menjawab pertanyaan penanya nomor 3 atau nomor 4 di atas, orang tuanya yang telah berusia lebih dari 60 tahun ini dapat saja ditanggung apabila memang orang tuanya ini tidak mendapatkan penghasilan sama sekali dan seluruh kehidupannya telah ditanggung oleh sang anak yang telah memiliki NPWP tersebut. Apabila memang memenuhi ketentuan pembebasan dari pengenaan FLN, maka dokumen yang harus dilampirkan adalah fotokopi NPWP/SKT/SKTS si penanggung pajak (yang memiliki NPWP), fotokopi kartu keluarga dan/atau Surat Pernyataan Menanggung Sepenuhnya orang tua yang tidak terdaftar dalam Kartu Keluarga (bentuk formulirnya seperti pada Lampiran IV.2 PER-53/PJ/2008).

Menjawab pertanyaan nomor 5 dimana sang Ibu adalah seorang guru (PNS) yang tidak memiliki NPWP, maka tidak dapat menanggung Anda untuk mendapatkan pembebasan FLN. Namun apabila Anda memang tidak memiliki penghasilan, maka Anda dapat melihat solusi atas pertanyaan Mahasiswi Rachel dan Mahasiswa yang berusia 24 tahun di atas, yaitu dapat memperoleh fasilitas tidak wajib membayar FLN dengan melampirkan Surat Pernyataan Berpenghasilan Di Bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (contoh Lampiran II SE-88/PJ/2008).

Semoga penjelasan ini dapat dipahami.

Jumat, 08 Januari 2010

Konsultan Pajak Gratis: Lapor SPT atas Penghasilan Jasa Konstruksi

Tanya:
Mat pagi pak Anto, saya pengurus dari sebuah Badan Usaha (WP Badan), berusaha di bidang Penyedia Jasa Pelaksana Konstruksi, bersertifikat Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) dengan kualifikasi KECIL.

Dalam Tahun 2009 ini, Badan Usaha saya mendapatkan 1 proyek Konstruksi dan 1 proyek pengadaan Barang dari Pemerintah Kabupaten. Maka timbullah:

Pemotongan PPh Psl 23 atas Proyek Konstruksi 2% dan PPh Psl 22 sebesar 1,5% dari Proyek Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tersebut.

Oleh karena ada dua jenis penghasilan/usaha,-kecuali hanya Jasa Konstruksi saja yang tidak wajib membayar Setoran Masa PPh Psl 25 mulai tahun pajak 2010, tetapi karena adanya usaha/penghasilan yang dikenakan PPh Psl 22-maka muncul pertanyaan:
1. apakah PPh Psl 23 atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi di atas dapat dapat dikreditkan?
2. apakah PPh Psl 23 perlu digabung bersama dengan PPh Psl 22 dalam Form 1771 Thun 2009 lampiran IV-KREDIT PAJAK-sebagai Kredit Pajak?

Dari hal tersebut di atas, saya juga perlu meminta tanggapan/penjelasan pak atas pendapat/pemahaman saya demikian:

3.Bahwa atas Usaha/Penghasilan Jasa Konstruksi, yang aturannya telah diubah dari semula obyek pajak bersifat Final (Tahun Pajak 2008 ke bawah) ke obyek pajak tidak bersifat Final (berlaku Tahun Pajak 2009 dst.), maka kedua-duanya termasuk Obyek Pajak yang dapat dikreditkan. Dengan demikian maka hasilnya kemungkinan pula didapat adanya Penghasilan Kena Pajak yang masih kurang bayar(PPh Psl 29), dan Angsuran PPh Psl 25 di Tahun Pajak 2010.

Mohon tanggapan/penjelasan pak membantu saya atas ketiga point tersebut di atas. Terimakasih sebelumnya. Harapan saya kiranya Bapak sekeluarga senantiasa dilindungi, diberkati, dll oleh TYME. Ttd:Lenz, di Ba'a, Kab. Rote Ndao, NTT.

Jawab:

Pak Lenz di Ba’a, Rote,

Saat ini ketentuan mengenai usaha jasa konstruksi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 (artikel mengenai ini silakan baca di sini) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 (silakan baca artikelnya di sini). Dengan adanya perubahan ini, maka untuk kontrak jasa konstruksi yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2008 (dengan masa peralihan sampai 31 Desember 2008) masih tunduk kepada PP Nomor 140 Tahun 2000 yaitu untuk kontrak dengan nilai di bawah Rp 1 milyar yang dikerjakan kontraktor kecil dikenakan PPh yang bersifat final (PPh Pasal 4 ayat (2)) dan untuk kontrak di atas Rp 1 milyar yang dikerjakan kontraktor menengah dan besar dikenakan PPh yang bersifat tidak final (PPh Pasal 23).

Sedangkan untuk kontrak yang ditandatangani setelah tanggal 1 Januari 2008 seluruhnya dikenakan pemotongan PPh yang bersifat final (Pasal 4 ayat (2)). Jadi bukan seperti yang Anda sebutkan dalam pertanyaan di atas.

Oleh sebab itu, atas kontrak Anda di tahun 2009 dipotong PPh sebesar 2 % dan bersifat final dan merupakan PPh Pasal 4 ayat (2), bukannya dipotong PPh Pasal 23. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong atas jasa konstruksi yang Anda kerjakan selama tahun 2009 ini tidak dapat dikreditkan sebagai kredit pajak dalam Form 1771 Tahun 2009 lampiran III-KREDIT PAJAK (bukan lampiran IV seperti yang Anda sebutkan), demikian pula penghasilan dari jasa konstruksi ini tidak perlu Anda hitung kembali dan dilaporkan pada Form 1771 Lampiran I. Namun penghasilan dan potongan PPh atas jasa konstruksi ini cukup Anda laporkan pada Form 1771 Lampiran IV Bagian A Nomor urut 8 a.

Sedangkan atas penghasilan yang diperoleh dari Proyek Pengadaan Barang/Jasa ke Pemerintah yang dipotong PPh Pasal 22 sebesar 1,5 % adalah merupakan penghasilan yang bersifat tidak final. Dalam SPT Tahunan PPh Tahun 2009 perlu menghitung kembali berapa sebenarnya Penghasilan Kena Pajak atas penghasilan dari pengadaan barang ini dan akan dikenakan PPh dengan tarif umum Pasal 17 UU PPh.

Maka untuk melaporkan Penghasilan selama tahun 2009, yang perlu dihitung adalah seluruh penghasilan yang bersifat tidak final (yaitu penghasilan dari pengadaan barang/jasa) dan dikurangi dengan biaya-biaya yang berhubungan dengan penghasilan ini. Jika ada biaya yang tidak berhubungan atau biaya-biaya yang berhubungan dengan penghasilan jasa konstruksi yang bersifat final, maka biaya tersebut tidak dapat dikurangkan.

PPh terutang atas penghasilan tidak final ini dapat dikreditkan dengan PPh Pasal 22 sebesar 1,5 %. Sedangkan PPh sebesar 2 % yang dikenakan atas jasa konstruksi tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak.

Demikian penjelasan yang dapat saya berikan.

Selasa, 24 November 2009

Pembayaran Denda Kenaikan Untuk Pembetulan SPT Lewat 2 Tahun

Kepada para pembaca setia Tax Learning, akibat kesibukan yang dialami penulis, maka banyak sekali pertanyaan dari para Pembaca yang belum sempat dijawab. Penulis meminta maaf kepada para penanya dan penulis akan berusaha untuk menjawab semua pertanyaan tersebut secepatnya.

Berikut salah satu pertanyaan yang akan dijawab:

Tanya:
Apakah untuk melakukan Pembetulan SPT yang telah lewat 2 (dua) tahun, kita cukup membayar Pokok Pajak yang masih kurang bayar, sedangkan untuk dendanya, cukup menunggu STP dari Kantor Pajak?

Berdasarkan Pasal 8 UU Nomor 28 Tahun 2007, tidak ditegaskan lagi persyaratan pembetulan SPT yang kurang bayar atau nihil yang dilakukan setelah lewat waktu 2 tahun. Yang diatur hanyalah untuk pembetulan SPT yang menyatakan rugi atau lebih bayar, yang harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sebelum waktu daluwarsa penetapan (Pasal 8 ayat (2)).

Persyaratan pembetulan SPT (terutama untuk yang kurang bayar atau nihil) ditegaskan jika:
- telah dilakukan pemeriksaan tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan (Pasal 8 ayat (3))
- telah dilakukan pemeriksaan, tetapi pemeriksaan belum selesai (karena surat ketetapan pajak belum diterbitkan) (Pasal 8 ayat (4)).

Untuk pembetulan dengan menggunakan ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) ini, maka persyaratan yang harus dilakukan oleh WP adalah mengungkapkan pembetulan yang akan dilakukannya tersebut secara tertulis dan disertai dengan pelunasan pokok pajak yang masih kurang dibayar beserta sanksi dendanya.

Lebih lanjut sanksi denda sebesar 50% yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) harus dibayar/dilunasi sebelum pembetulan SPT tersebut disampaikan ke KPP (Pasal 8 ayat (5)).

Artinya:
Jika WP menyampaikan pembetulan sesuai Pasal 8 ayat (3) atau ayat (4), namun masih belum disertai dengan pelunasan sanksi administrasi berupa denda (sebesar 150% untuk pembetulan Pasal 8 ayat (3) dan sebesar 50% untuk pembetulan Pasal 8 ayat (4)), maka pembetulan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tersebut belum dapat diterima atau dianggap sebagai pembetulan. Maka kepada Wajib Pajak akan diberitahukan bahwa persyaratan pembetulannya masih kurang dan tidak dapat diterima.

Jadi tidak ada produk STP yang dapat diterbitkan.

Senin, 09 November 2009

Bagaimana Prosedur Daftar NPWP secara On-line?

Dengan semakin majunya teknologi informasi serta kesibukan yang dialami oleh masyarakat, maka sebagian besar masyarakat Indonesia lebih menyukai pendaftaran NPWP secara on-line. Apalagi sejak lama Direktorat Jenderal Pajak telah membuat suatu sistem pendaftaran NPWP secara on-line yang dikenal dengan program e-Registration. Namun banyak pertanyaan dari masyarakat seputar bagaimana prosedur pendaftaran NPWP melalui program e-Registration ini. Salah satu pertanyaan yang diterima Penulis adalah sebagai berikut:
Pertanyaan:
Pak saya mau nanya,setelah kita registrasi online dan mengirimkan berkas kita ke KPP yang ditunjuk menggunakan POS. Bagaimana kita mengetahui kalau NPWP kita sudah terdaftar dan bukan NPWP sementara lagi. Bagaimana saya mendapatkan kartu NPWP itu bila kita mengirimkan lewat POS. Terimakasih.

Jawab:

Dasar aturan: Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 24/PJ/2009 tanggal 16 Maret 2009 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2009 tanggal 16 Maret 2009.
Dalam ketentuan ini ditegaskan mengenai ketentuan pendaftaran NPWP dan Pengukuhan PKP serta melakukan perubahan data (up-dating) secara online melalui program e-Registration. Secara ringkas dapat dijelaskan proses pendaftaran NPWP dan Pengukuhan PKP melalui program e-Registration adalah sebagai berikut:
Prosedur pengajuan permohonan yang dilakukan oleh Wajib Pajak adalah dengan mengisi secara lengkap dan jelas formulir permohonan elektronis pada situs pendaftaran NPWP secara online tanpa harus menyampaikan hardcopy data pendukung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana Wajib Pajak seharusnya terdaftar. Setelah Wajib Pajak mengisi secara lengkap seluruh isian pada formulir permohonan elektronis tersebut, Wajib Pajak dapat mencetak sendiri formulir permohonan serta Surat Keterangan Terdaftar Sementara (SKTS) yang diterbitkan dari sistem e-Registration ini. SKTS ini berlaku terhitung sejak permohonan melalui sistem e-Registration dilakukan sampai dengan diterbitkannya Surat Keterangan Terdaftar (SKT) oleh KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, dan hanya berlaku untuk pembayaran, pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain serta tidak dapat dipergunakan untuk kegiatan lain di luar bidang perpajakan yang bersifat sementara.
Penerbitan SKT, Kartu NPWP dan/atau Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SPPKP) harus dilakukan oleh KPP paling lama 1 (satu) hari sejak informasi permohonan melalui sistem e-Registration diterima KPP sepanjang permohonan tersebut diisi secara lengkap. Dalam hal proses penerbitan NPWP dan/atau PKP telah selesai, Wajib Pajak dikirimkan notifikasi (pemberitahuan) melalui Sistem e-Registration ke alamat e-mail Wajib Pajak yang telah diisikan pada saat pengisian formulir permohonan e-Registration tersebut. SKT, kartu NPWP dan/atau SPPKP ini akan disampaikan/dikirimkan langsung kepada Wajib Pajak.
Selanjutnya setelah diterbitkan SKT dan Kartu NPWP, maka pihak KPP akan melakukan konfirmasi lapangan untuk membuktikan kebenaran pengisian formulir melalui sistem e-Registration tersebut paling lama 1 tahun setelah diterbitkannya NPWP dan SKT dan/atau SPPKP dengan prioritas sesuai tingkat risiko Wajib Pajak. Pada saat konfirmasi lapangan ini, petugas dari KPP akan meminta dokumen yang digunakan untuk mengisi e-Registration tersebut kepada Wajib Pajak. Apabila hasil konfirmasi lapangan ini ditemukan adanya ketidakbenaran data yang digunakan untuk pendaftaran tersebut, maka pihak KPP dapat mencabut SKT, NPWP atau SPPKP. Surat Pencabutan ini akan diumumkan dalam website www.pajak.go.id dan kepada Wajib Pajak akan dikirimkan notifikasi (pemberitahuan) melalui sistem e-Registration.


Rabu, 16 September 2009

Konsultasi Pajak Gratis: Pihak Yang Dapat Menandatangani SPT

Tanya:
Pak,
Untuk penanda tanganan SPT masa atau tahunan, apa harus direksi? dan Jika satu perusahaan terdiri dari 3 direksi, jika salah satu berhalangan , apa direksi yang lain bisa tanda tangan tanpa harus bikin surat perwakilan ke KPP..O ya Pak..apakah Manajer bisa tanda tangan SPT masa jika ada surat perwakilan..Ada Ketentuan di UU no berapa Pak?

thx

Jawab:

Pasal 32 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP) mengatur bahwa dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal badan oleh pengurus.
Lebih lanjut dalam Pasal 32 ayat (4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 menyebutkan bahwa termasuk dalam pengertian pengurus adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijakan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan. Pengertian orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 32 ayat (4) ini dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (4), yaitu orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali.
Jadi seluruh dewan direksi, dewan komisaris, pemegang saham pengendali dan orang yang nyata-nyata berwenang dalam menjalankan kegiatan perusahaan adalah merupakan pihak yang berperan atas nama perusahaan dalam menjalankan kewajiban pajaknya termasuk menandatangani SPT. Jadi jika salah seorang dewan direksi berhalangan maka anggota dewan direksi lainnya atau dewan komisaris atau pihak-pihak yang berwenang tersebut dapat menandatangani SPT tanpa perlu surat perwakilan.

Dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya ini, dapat ditunjuk seorang kuasa untuk mewakili suatu badan dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3). Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan kuasa ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008. Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini diatur bahwa yang dapat menjadi kuasa bagi Wajib Pajak badan dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
- Kuasa yang merupakan konsultan pajak
- Kuasa yang bukan konsultan pajak.

Kuasa yang bukan konsultan pajak menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008 ini adalah harus merupakan karyawan tetap yang telah menerima penghasilan dari Wajib Pajak pemberi kuasa dan hanya dapat menerima kuasa dari:
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran/penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 1.800.000.000,00 dalam 1 (satu) tahun; atau
  3. Wajib Pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 2.400.000.000,00 dalam 1 (satu) tahun.

Jadi jika perusahaan Anda tersebut adalah sebuah perusahaan dengan peredaran usaha setahunnya tidak melampaui Rp 2.400.000.000,00 (dua milyar empat ratus ribu rupiah) maka karyawan perusahaan (seperti manajer) dapat diberikan kuasa oleh dewan direksi untuk menandatangani SPT. Namun jika peredaran usaha perusahaan Anda setahunnya telah melampaui Rp 2.400.000.000,00 maka yang dapat menjadi kuasa bagi perusahaan Anda hanyalah konsultan pajak resmi sesuai dengan ijinnya, sedangkan karyawan perusahaan tidak diperbolehkan menjadi seorang kuasa.

Artikel Terkait:
- Ketentuan Mengenai Kuasa dan Surat Kuasa Bagi Wajib Pajak
- Kontroversi Ketentuan Kuasa Bagi Wajib Pajak

Jumat, 07 Agustus 2009

Konsultasi Pajak Gratis: Perhitungan PPh Pasal 21 untuk Penghasilan yang Fluktuatif

Tanya:
dear pak Anto,
Saya mau tanya tentang perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan PER-31/PJ/2009.
Sedangkan penghasilan tiap bulan selalu berubah kadang lebih besar kadang lebih kecil karena adanya uang kehadiran, bonus, insentive,tunjangan kesehatan dan sejenisnya, yang kadang diperoleh kadang tidak.
PPh Pasal 21 selama ini dibayar oleh perusahaan kami.
Mengingat SPT tahun 2009 sudah tidak ada lagi.
Demikian pak Anto, mohon penjelasannya, terima kasih.
Best rgds,
donita_jakarta@yahoo.com

Jawab:
Dear Bu Donita,
Mohon maaf pertanyaan Anda baru bisa saya jawab saat ini.
Perhitungan PPh Pasal 21 selama ini telah mengantisipasi penghasilan karyawan yang mengalami fluktuatif setiap bulannya. Jika kita mengikuti ketentuan perhitungan dalam ketentuan baru (PER-31/PJ2009), perhitungan penghasilan yang diterima selama sebulan harus disetahunkan (untuk menentukan perkiraan penghasilan neto setahunnya; lihat contoh perhitungan di Lampiran PER-31/PJ/2009 Nomor I.1.2 hal 9 atau halaman ke-25 pada file pdf yang saya lampirkan tersebut). Setelah diperoleh PPh atas penghasilan setahun tersebut, barulah PPh tersebut dikembalikan ke nilai sebulannya. Perhitungan secara perkiraan ini dilakukan untuk masa Januari s.d. Desember. Nah, untuk menentukan PPh terutang sebenarnya atas penghasilan yang diterima selama setahun dilakukan pada perhitungan PPh untuk bulan/masa Desember setiap tahun pajaknya. Jadi perhitungan PPh Pasal 21 masa Desember sebenarnya mirip dengan SPT Tahunan (lihat ketentuan Pasal 14 ayat (5) PER-31/PJ/2009). Jadi kekurangan atau kelebihan PPh yang telah disetor selama Januari s.d. November akan diperhitungkan pada bulan Desember, sehingga dipastikan tidak akan terjadi kesalahan dalam perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 ini.
Untuk lebih jelasnya silakan pelajari ketentuan PER-31/PJ/2009 dan PER-32/PJ/2009 (mengenai cara melaporkannya PPh Pasal 21 ini dalam formulir SPT-nya). Semoga penjelasan ini dapat dipahami.

Kamis, 23 Juli 2009

Konsultasi Pajak Gratis: Faktur Pajak Pengganti Karena Discount Belum Dicantumkan

Tanya:
selamat siang semuanya

saya ada kasus

ada penjualan bulan April 2009 pada PT X yang seharusnya dengan discount, tetapi kami invoicing (dan faktur pajak) tanpa discount.

setelah dibayarkan oleh PT X, mereka complain.

apakah kami harus membuat koreksi atas invoice tersebut dan membuat faktur pajak pengganti....???

ataukah kami boleh menggurangi (menambahkan discount) pada invoice baru yang akan kami terbitkan....???
(soalnya PT X meminta dengan menambahkan discount tersebut pada invoice baru. )
kebetulan purchase order (PO) yang diterbitkan masih satu PO, hanya pengiriman dan invoicing dipisah sesuai waktu pengiriman barang (tercantum di PO)

mohon bantuannya

terima kasih

Jawab:

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006, ditegaskan bahwa atas Faktur Pajak Standar yang cacat, rusak salah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan, sehingga tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas dan benar, Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar tersebut dapat menerbitkan Faktur Pajak Standar Pengganti.
Dalam kasus Anda ini, tidak dicantumkannya nilai discount (potongan harga) pada Faktur Pajak yang diterbitkan atas transaksi penyerahan/penjualan bulan April 2009 ini. Kejadian ini dapat dikelompokkan sebagai Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau penulisan. Oleh sebab itu, sesuai Pasal 11 ayat (1) PER-159/PJ/2006, maka harus diterbitkan Faktur Pajak Standar Pengganti.

Rencana Anda untuk mencantumkan nilai discount pada Faktur Pajak yang baru diterbitkan adalah tidak tepat dan menyalahi ketentuan Pasal 11 ayat (1) PER-159/PJ/2006 tersebut, karena sebenarnya substansi discount ini adalah melekat pada invoice dan Faktur Pajak pertama yang salah tersebut. Sehingga jika ditindaklanjuti dengan mencantumkan discount pada Faktur Pajak yang baru, akan menyebabkan nilai penyerahan/penjualan yang tercantum pada Faktur Pajak sebelumnya dan Faktur Pajak yang baru diterbitkan adalah tidak mencerminkan nilai dan keadaan yang sesungguhnya.

Prosedur Penggantian Faktur Pajak berdasarkan PER-159/PJ/2006, adalah:
TATA CARA PENGGANTIAN FAKTUR PAJAK STANDAR YANG CACAT, RUSAK, SALAH DALAM PENGISIAN, ATAU SALAH DALAM PENULISAN

1. Atas permintaan Pengusaha Kena Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau atas kemauan sendiri, Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak membuat Faktur Pajak Standar Pengganti terhadap Faktur Pajak Standar yang rusak, cacat, salah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan.
2. Pembetulan Faktur Pajak Standar yang rusak, cacat, salah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan tidak diperkenankan dengan cara menghapus, atau mencoret, atau dengan cara lain, selain dengan cara membuat Faktur Pajak Standar Pengganti sebagaimana dimaksud dalam butir 1.
3. Penerbitan dan peruntukan Faktur Pajak Standar Pengganti dilaksanakan seperti penerbitan dan peruntukan Faktur Pajak Standar yang biasa sesuai dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar yang telah ditetapkan pada Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
4. Faktur Pajak Standar Pengganti sebagaimana dimaksud pada butir 1, diisi berdasarkan keterangan yang seharusnya dan dilampiri dengan Faktur Pajak Standar yang rusak, cacat, salah dalam penulisan atau salah dalam pengisian tersebut.
5. Pada Faktur Pajak Standar Pengganti sebagaimana dimaksud pada butir 1, dibubuhkan cap yang mencantumkan Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut. Pengusaha Kena Pajak dapat membuat cap tersebut seperti contoh berikut. Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak Standar yang diganti dapat diisi dengan cara manual.

Faktur Pajak Standar yang diganti :
Kode dan Nomor Seri : ………………………………………
Tanggal : ……………………

6. Penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti mengakibatkan adanya kewajiban untuk membetulkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak terjadinya kesalahan pembuatan Faktur Pajak Standar tersebut.
7. Faktur Pajak Standar Pengganti dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada :
a. Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak Standar yang diganti, dengan mencantumkan nilai setelah penggantian; dan
b. Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Standar Pengganti tersebut dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN dan PPn BM, untuk menjaga urutan Faktur Pajak Standar yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak.
8. Pelaporan Faktur Pajak Standar Pengganti pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 7 huruf a dan b, harus mencantumkan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar yang diganti pada kolom yang telah ditentukan.

Kamis, 25 Juni 2009

Konsultasi Pajak Gratis: Pengertian PPh Pasal 23 sebagai Angsuran Pajak

Pak. Anto
Saya mahasiswa yang baru saja menyelesaikan sidang skripsi saya tentabg PPh Pasal 23, namun saya mendapatkan pertanyaan sebagai revisi saya tentang Angsuran Pajak,pertanyaannya adalah:
"Apa pengertian PPh Pasal 23 sebagai Angsuran Pajak?"
Jujur saya bingung untuk menjawabnya,krn setahu saya yang berhubungan dg angsuran pajak adalah PPh Pasal 25.hubungan PPh Pasal 23 dg angsuran pajak adalah hanya sbagai kredit/pengurangan pajak saja dalam Pasal 25...
Untuk itu saya memohon kpd bpk untuk penjelasannya,Maaf apabila saya merepotkan..

Jawab:

Dalam konsep Pajak Penghasilan yang dianut oleh Indonesia, Pajak Penghasilan yang terutang harus dibayar oleh Wajib Pajak dengan 2 (dua) metode, yaitu dibayarkan langsung pada saat terutangnya (biasanya dikenal sebagai PPh Final), dan metode pembayaran PPh dengan cara menyetorkan terlebih dahulu selama tahun berjalan (dengan cara memproyeksikannya sebagai angsuran pajak atau dalam akuntansi dikenal sebagai istilah "Uang Muka Pajak") kemudian pada akhir tahun barulah dihitung jumlah PPh terutang yang sebenarnya dan setoran selama tahun berjalan ini ("uang muka pajak") diperhitungkan sebagai kredit pajak pengurang PPh terutang selama setahun tersebut dan menyetorkan sisa kekurangannya.
Istilah PPh Pasal 23 ini sebagai "angsuran pajak" mungkin secara implisit hanya dapat kita temukan dalam Penjelasan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, yang ditegaskan sebagai:
"Pembayaran dividen, bunga, sewa, royalti, imbalan atas jasa teknik dan jasa manajemen yang merupakan penghasilan, harus dilunasi Pajak Penghasilannya selama tahun berjalan melalui pemotongan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri di Indonesia atau badan pemerintah yang melakukan pembayaran itu."
Sedangkan dalam Pasal 28 UU PPh ditegaskan bahwa:
"Bagi Wajib Pajak dalam negeri, pajak yang terhutang untuk seluruh tahun pajak menurut undang-undang ini dikurangi dengan kredit pajak berupa (antara lain adalah): pemotongan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen, royalti, sewa, dan imbalan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23."
Jadi dalam penjelasan ini secara implisit ditegaskan bahwa PPh Pasal 23 ini adalah merupakan cara pelunasan PPh Pasal 23 yang dilakukan selama tahun berjalan sebagai angsuran pajak dan kelak akan diperhitungkan sebagai kredit pajak pengurang dari PPh terutang atas penghasilan seluruhnya.
Berbeda dengan PPh Pasal 25 yang secara jelas ditegaskan sebagai angsuran pajak yang harus dibayar sendiri, PPh Pasal 23 adalah merupakan "angsuran pajak" yang cara pembayarannya adalah dilakukan melalui pemotongan oleh pihak ketiga yang membayarkan penghasilan kepada Wajib Pajak penerima penghasilan (witholding tax).

Selasa, 23 Juni 2009

Konsultasi Pajak Gratis: PPh atas Penjualan Tanah dan Bangunan

Terimakasih atas kesempatannya.
Perusahaan tempat saya bekerja (PT XX) sedang diperiksa, dan ditemukan hal-hal sebagai berikut :
  1. Terdapat transaksi penjualan tanah/bangunan pabrik dan sudah dibayar PPh Final 5% sesuai nilai Akta Jual Beli (Nilai AJB = Nilai NJOP. Sebenarnya, Nilai transaksi real di bawah nilai NJOP/AJB.
  2. Menurut pemeriksa, seharusnya bukan terutang PPh Final, namun PPh Pasal 25.
  3. Atas transaksi tersebut terdapat keuntungan pengalihan aktiva yang harus dilaporkan di PPh Badan (sebesar = Nilai Jual AJB - Nilai Buku/Nilai Perolehan).
  4. PPN yang terutang sebesar 10% X harga jual tanah & bangunan. (menurut kami dari harga jual bangunan saja)
Pertanyaan saya :
  1. Benarkah pendapat pemeriksa tersebut di atas ?
  2. Jika benar apakah PPh final yang telah disetor, dapat diperhitungkan dengan PPh Badan, mengingat jumlahnya yang sangat besar.
Terimakasih banyak atas pencerahannya...

Jawab:
Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh ditegaskan bahwa keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta adalah merupakan penghasilan yang menjadi objek PPh.

Ketentuan mengenai pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan sebenarnya telah mengalami beberapa kali perubahan, yaitu:
- Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994
- Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996
- Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999
- Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008

Dengan adanya beberapa kali perubahan mengenai aturan pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan menyebabkan terjadinya perbedaan perlakuan pengenaan PPh antara suatu periode dengan periode lainnya. Penulis tidak mendapatkan informasi mengenai tahun terjadinya transaksi pengalihan tanah dan/atau bangunan (selanjutnya oleh penulis diistilahkan menjadi: “pengalihan”) yang ditanyakan tersebut, sehingga dalam hal ini Penulis hanya akan menjelaskan mengenai perbedaan perlakuan PPh untuk periode 1 Januari 2000 sampai dengan 31 Desember 2008 serta periode 1 Januari 2009 sampai sekarang.

Secara umum, Wajib Pajak (baik badan maupun orang pribadi) yang melakukan transaksi pengalihan harus menyetorkan sendiri atau dipungut PPh atas pengalihan tersebut (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1)).
Perlakuan PPh atas pengalihan yang terjadi untuk periode 1 Januari 2000 sampai dengan 31 Desember 2008, berlaku ketentuan PP Nomor 79 Tahun 1999, bahwa:

  1. PPh atas penghasilan dari pengalihan yang dilakukan oleh Orang Pribadi atau Badan ini ditetapkan sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan (Pasal 4 ayat (1)).
  2. Pengecualian untuk Wajib Pajak Badan (termasuk koperasi) yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan, pengenaan PPhnya berdasarkan ketentuan umum Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh (dikenakan PPh tarif progresif atas capital gain dari pengalihan tersebut) (Pasal 6).
  3. Sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi, yayasan atau organisasi yang sejenis, yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan, serta Wajib Pajak orang pribadi (yang tidak bergerak di bidang usaha pengalihan) yang penghasilanya telah di atas PTKP jika melakukan pengalihan dengan jumlah bruto di bawah Rp 60.000.000, pembayaran PPh sebesar 5% tersebut adalah bersifat final (Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2)).

Sedangkan perlakuan PPh atas pengalihan yang terjadi untuk periode 1 Januari 2009 sampai dengan saat ini, berlaku ketentuan PP Nomor 71 Tahun 2008, bahwa:
  1. Besarnya PPh untuk pengalihan adalah bersifat final (Pasal 8 ayat (1)) dan dibagi menjadi 2 jenis, yaitu: Sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan (baik WP Badan maupun orang pribadi), dan; Sebesar 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan untuk pengalihan Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh WP yang usaha pokoknya melakukan pengalihan (Pasal 4 ayat (1)).
  2. Ketentuan mengenai pengenaan PPh atas pengalihan yang dilakukan oleh WP Badan (termasuk koperasi) yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan, pengenaan PPhnya berdasarkan ketentuan umum Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh (dikenakan PPh tarif progresif atas capital gain dari pengalihan tersebut) di Pasal 6 aturan sebelumnya dihapus.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka:
  1. Jika kasus yang dialami perusahaan Anda ini terjadi dalam periode 1 Januari 2000 sampai dengan 31 Desember 2008 dan perusahaan Anda adalah perusahaan yang usaha pokoknya bukan melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan; maka pada saat terjadi transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, perusahaan harus menyetorkan PPh (atau dipungut) atas pengalihan tersebut sebesar 5% dari nilai tertinggi antara nilai berdasarkan transaksi/akta dengan NJOP.
  2. Pada akhir tahun pajak, keuntungan (capital gain) dari penjualan/pengalihan tanah dan atau bangunan ini harus diakui dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan (sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh. Pengakuan capital gain ini adalah atas selisih harga pengalihan (harga jual) dengan nilai buku dari tanah dan atau bangunan tersebut pada saat dijual.
  3. PPh sebesar 5% yang telah disetorkan (dipungut) pada saat transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut tidak bersifat final dan dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh Badan ini mengurangi besarnya PPh Badan Terutang (bukan diperlakukan sebagai PPh Pasal 25 seperti yang Anda sebutkan, namun diisi sebagai PPh atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan (pada formulir 1771 induk Bagian C Nomor 10 huruf d).

Sedangkan untuk aspek PPNnya adalah:
Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, menetapkan kelompok barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, namun tanah tidak termasuk kelompok barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Sehingga atas penjualan tanah tetap terutang PPN.

Artikel Terkait:
- PPh atas Penjualan Tanah/Bangunan

Kamis, 18 Juni 2009

Penggunaan Kurs Pajak atas Transaksi dengan Mata Uang Asing

Dear Pak Anto,

Senang sekali mendengar kabar Bapak sudah 'online' lagi mengasuh blog ini; semoga setelah melalui istirahat, menjadi 'full charge'

Sehubungan dengan pelaporan SPT Masa PPN 1107 induk huruf B ; penyerahan yang tidak terutang PPN ; ada yang mau saya tanyakan sebagai berikut:

1. Apabila penyerahan yang tidak terutang PPN tersebut dalam mata uang USD ; maka kurs yang dipakai untuk mengkonversikan nilai transaksi di pelaporan 1107 induk huruf B apakah kurs pajak (saat tanggal invoice terbit) atau kurs pajak akhir bulan masa SPT tersebut ataukah kurs tengah BI (tanggal invoice terbit)?

2. Apakah yang dimaksud dengan 'kurs tetap'? Apakah fiskus hanya mengakui metoda kurs tetap dan tidak memperhitungkan lagi kurs tengah BI?

3. Tolong jelaskan dengan bahasa sederhana, apa yang dimaksud dengan penghitungan kembali PPN Masukan untuk barang modal yang dipakai untuk penyerahan terutang PPN dan penyerahan tidak terutang PPN? jujur saya bingung dengan rumus X/Y dikali %

Terima kasih banyak atas waktu Bapak membaca dan mengasuh blog ini ; semoga kesehatan dan kesuksesan selalu menyertai langkah Bapak.

salam hangat,

Jawab:

Dear Saudara/Saudari
Terima kasih atas atensinya serta doanya. Salam sukses juga.
Akhir-akhir ini saya mengalami kesulitan waktu dalam mengelola blog ini akibat aktivitas yang cukup padat dan harus mobile dalam beberapa kota. Sehingga tentunya banyak pertanyaan dari para Pembaca yang tidak dapat saya respon secara cepat. Namun saya masih terus berusaha untuk merespon seluruh pertanyaan dari para Pembaca setia Tax Learning dengan memprioritaskan pertanyaan yang dapat saya selesaikan secara cepat.
Menjawab pertanyaan Anda:
1. Penggunaan kurs Menteri Keuangan (Kurs Pajak) adalah untuk menentukan besarnya pajak (PPN, PPnBM, PPh, Bea Masuk) yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak. Sarana untuk menentukan/menghitung besarnya pajak yang terutang adalah dengan melaporkannya dalam SPT. Jika transaksi yang dilakukan adalah menggunakan mata uang asing, maka untuk melaporkan transaksi tersebut dalam SPT haruslah menggunakan kurs pajak. Sehingga untuk melaporkan penyerahan yang tidak terutang PPN dalam SPT Masa PPN 1107 induk huruf B yang transaksinya menggunakan mata uang dolar, adalah menggunakan kurs pajak yang berlaku pada saat dilakukannya transaksi.

2. Dalam sistem pembukuan, kerugian selisih kurs mata uang asing akibat fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dan dilakukan secara taat asas. Hal ini diakomodasi oleh ketentuan pajak. Dalam pengakuan selisih kurs ini, jika Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan:
-Kurs tetap, pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi perkiraan mata uang asing tersebut.
-Kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun (kurs pada tanggal 31 Desember).
Wajib Pajak dapat menggunakan salah satu dari kedua sistem ini, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.42/1999 tanggal 4 Februari 1999.

3. Perhitungan kembali pajak masukan dilakukan pada setiap akhir tahun (Masa Desember) oleh Wajib Pajak yang sekaligus melakukan penyerahan barang/jasa kena pajak dan barang/jasa yang tidak terutang PPN. Karena pada dasarnya Pajak Masukan atas barang/jasa yang tidak terutang PPN tidak dapat dikreditkan, sehingga jika ada Wajib Pajak yang melakukan penyerahan barang/jasa kena pajak dan barang/jasa yang tidak terutang PPN, maka Pajak Masukan atas barang/jasa yang tidak terutang PPN ini harus dikeluarkan.
Jika Pajak Masukan untuk memperoleh barang/jasa yang kelak jika dijual/diserahkan adalah bersifat gabungan antara terutang PPN dan tidak terutang PPN, maka Wajib Pajak harus menentukan kembali berapa sebenarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Perhitungan untuk menentukan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan inilah yang disebut sebagai perhitungan kembali Pajak Masukan, dengan menggunakan proporsi. Untuk lebih jelasnya saya berikan contoh kasus sebagai berikut.
Misalkan PT X selama tahun 2008 melakukan penyerahan barang yang terdiri dari:
-Penyerahan Barang yang terutang PPN sebesar Rp 100 juta (DPP: Rp 1 Milyar).
-Penyerahan Barang yang tidak terutang PPN sebesar Rp 50 juta (DPP: Rp 500 juta).
Selama tahun 2008 ini PT X membeli bahan baku untuk memproduksi barang yang dijual ini (seluruh Barang yang terutang PPN dan yang tidak terutang PPN (dengan DPP sebesar Rp 1,5 milyar) ini, totalnya adalah sebesar Rp 1 Milyar (dengan PPN sebesar Rp 100 juta).
Maka porsi Pajak masukan atas bahan baku yang digunakan untuk memproduksi barang yang kelak penyerahannya tidak terutang PPN tersebut harus dikeluarkan (tidak dapat dikreditkan). Untuk mengeluarkan pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan ini yang diistilahkan sebagai penghitungan kembali pajak masukan.
Besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah:
=(Jumlah penyerahan yang terutang PPN : Jumlah Total Penyerahan) X Jumlah Pajak Masukan
= (Rp 1 Milyar / Rp 1,5 Milyar) X Rp 1 Milyar
= Rp 666,67 Juta
Semoga penjelasan ini dapat dimengerti.

Selasa, 19 Mei 2009

Aspek PPh dan PPN atas Pemberian Insentif Penjualan

Tanya:

Selamat Siang,

Nama saya Christ, saya bekerja di suatu perusahaan Consumer Goods, sebut saja PT.XXX.

Saat ini perusahaan saya sedang melaksanakan semacam Target System ke toko yang adalah customer kami, yang mana, apabila target yang kita berikan setiap bulannya dapat tercapai, maka perusahaan kami akan memberikan sejumlah uang (incentive) atas pencapaian target tersebut. Tetapi apabila target tersebut tidak dapat dipenuhi, maka kami tidak memberikan incentive kepada customer tersebut.
Target yang dimaksudkan adalah besarnya pembelian dari customer ke perusahaan kami atas produk-produk yang kami jual untuk mereka jual kembali kepada konsumen.
Atas incentive yang kami berikan kepada customer (asumsikan mencapai target), kami memungut potongan berdasarkan PPh 23 sebesar 15% untuk customer yang menggunakan NPWP badan, dan memungut potongan berdasarkan PPh 21 sebesar 5% untuk customer yang menggunakan NPWP pribadi.
Nah yang menjadi pertanyaan saya adalah, pertama, apakah customer tersebut (PKP) berhak memungut PPN 10% atas incentive yang kami berikan tersebut?

Kedua, dasar hukum perpajakan apa yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengenai "berhak atau tidak"nya seseorang/ wajib pajak memungut PPN 10% atas incentive yang diberikan karena tercapainya suatu target yang diberikan?

Demikian email ini saya buat. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya tunggu informasi/ jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya di atas secepatnya.

Atas perhatian & kerjasamanya, saya ucapkan terima kasih.


Best Regards,
Christ

Jawab:

Dear Pak Christ,
Mohon maaf kepada Pak Christ, karena akibat dari kesibukan Penulis yang mengakibatkan pertanyaannya baru dapat dijawab pada saat ini.
Sesuai dengan pengertian dan peristilahan perdagangan, transaksi pemberian insentif kepada para konsumen adalah merupakan penghargaan yang diberikan terhadap suatu subjek karena kinerja yang melampaui suatu standar yang telah ditetapkan.
Dari sisi PPh, pemberian insentif ini adalah merupakan pemberian hadiah yang merupakan objek PPh. Perlakuan PPh atas insentif ini adalah jika insentif dibayarkan kepada Wajib Pajak berbentuk badan, maka akan terutang PPh Pasal 23 dengan tarif PPh sebesar 15% dari jumlah bruto yang dibayarkan. Sedangkan jika penerima insentifnya adalah merupakan orang pribadi, maka insentif ini terutang PPh Pasal 21 dengan tarif progresif Pasal 17 UU PPh.
Sedangkan dari sisi PPN, perlakuan atas pembayaran insentif ini adalah:
  1. Atas pemberian bonus/insentif/hadiah/penghargaan dari perusahaan Anda kepada para customer sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya atau imbalan prestasi terutang PPN.
  2. Dalam hal bonus/insentif/hadiah/penghargaan tersebut diberikan dalam bentuk Barang Kena Pajak, maka atas pemberian bonus/insentif/hadiah/penghargaan tersebut termasuk dalam kategori pemberian cuma-cuma dan atas penyerahannya terutang PPN dan PPnBM sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (5) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ./2002, serta harus diterbitkan Faktur Pajak.
Penegasan ini dapat dibaca di Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor: S-1112/PJ.322/2005 tanggal 30 Desember 2005.
Pihak yang wajib untuk menerbitkan faktur pajak dan memungut PPN adalah pihak penjual barang kena pajak atau pihak pemberi jasa kena pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dalam hal ini adalah customer yang telah dikukuhkan sebagai PKP.

Senin, 06 April 2009

Konsultasi Pajak Gratis: Pemotongan PPh atas Bunga Deposito yang Diterima Pemda

Tanya:

Selamat siang pak, saya mo nanya nich
saya adalah pegawai bank,ada kasus:
Pemerintah Daerah menyimpan dana APBD di deposito bank kami. Kami selaku pihak bank melakukan pemotongan atas bunga deposito sebesar 20%. Pihak Pemda merasa keberatan atas pemotongan pajak yang kami lakukan. Bagaimana sebenarnya perlakuan pajak atas bunga deposito yang disimpan oleh pemda? Apakah terutang pajak atau tidak??
Terima kasih atas jawabannya...
*urgent*

Jawab:

Pemotongan PPh atas bunga deposito diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001.
Dalam ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001, menegaskan bahwa atas penghasilan berupa bunga dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, termasuk juga bunga yang diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia (Pasal 2 ayat (1) dan (2)). Dalam Pasal 2 ayat (3) hanya menyebutkan bahwa subjek pajak yang dikecualikan dari pengenaan PPh atas bunga deposito ini adalah orang pribadi subjek pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1 tahun pajak (termasuk bunga dan diskonto) tidak melebihi PTKP.
Dalam Pasal 4 diatur bahwa pemotongan PPh Final atas bunga deposito dan tabungan ini tidak dilakukan terhadap bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI:
  1. sepanjang jumlah tabungan serta SBI tidak melebihi Rp7.500.000.
  2. yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
  3. yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya disahkan Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatannya kegiatan dana pensiun.
  4. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka kepemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana sesuai ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
Dalam Pasal 6 ayat (1) ditegaskan bahwa pihak bank dan Bank Indonesia wajib memotong PPh final atas bunga deposito dan diskonto ini.
Sedangkan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang mengatur mengenai subjek pajak dalam negeri yaitu badan yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
  • pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • pembiayaannya bersumber dari APBN atau APBD;
  • penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
  • pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawas fungsional Negara.
Berdasarkan ketentuan di atas, penulis menyimpulkan bahwa pihak Pemerintah Daerah (Pemda) adalah tidak termasuk sebagai subjek pajak apabila memenuhi 4 (empat) ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh. Namun dalam kasus ini, bunga deposito yang menjadi penghasilan dan kelak tentunya menjadi sumber pembiayaan bagi Pemda bukanlah merupakan bersumber dari APBN/APBD namun berasal dari pihak bank pembayar bunga deposito. Sehingga dapat disimpulkan bahwa unit tertentu dalam Pemda ini tidak dapat memenuhi syarat sebagai dikecualikan sebagai subjek pajak.
Namun aturan yang lebih jelas mengenai pemotongan PPh atas bunga deposito dan tabungan dapat kita kutip dari Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001. Dari ketentuan ini secara tegas disebutkan bahwa penghasilan bunga deposito, tabungan dan diskonto SBI akan dibebaskan dari pengenaan PPh apabila memenuhi keempat syarat tersebut. Sepanjang penghasilan bunga deposito yang diterima oleh Pemda ini tidak memenuhi keempat syarat tadi, maka pihak bank sebagai pembayar bunga deposito harus memotong PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final terhadap penghasilan bunga deposito yang diterima oleh pihak Pemda.

Selasa, 24 Maret 2009

Konsultasi Pajak Gratis: Pelaporan SPT untuk Pemandu Wisata (Tour Leader)

Tanya:

Terima kasih atas aktifnya saya dalam blog bapak. Saya suka membaca artikel bapak, sangat menarik dan banyak ilmu yang saya dapat.

Pada kesempatan ini saya juga ingin menanyakan mengenai pekerjaan sebagai freelance tourleader. Bila sebagai freelance yang tidak terikat dalam satu pesh, apakah dalam pembayaran pajaknya saya dapat menggunakan norma dalam kode 00000 pekerjaan bebas bidang profesi lainnya. Bila tidak dapat menggunakan norma, bagaimana perhitungan pajaknya. Dan bila selama ini tidak dapat bukti potong dari pesh tempat bekerja, apakah dapat membayar sendiri pajaknya.

Terima kasih atas jawabannya.
Tania

Jawab:

Dear Sdri Tania,
Terima kasih telah menjadi pengunjung setia di blog ini. Dan saya sangat senang jika ternyata informasi yang disajikan ini dapat bermanfaat bagi Anda.
Seharusnya pekerjaan sebagai tour leader tersebut merupakan pekerjaan yang terikat pada suatu perusahaan pemberi kerja (dalam hal ini agen perjalanan wisata). Penghasilan yang diterima adalah berasal dari pemberi kerja, bukan dari para wisatawan yang telah Anda pandu perjalanan wisatanya. Seharusnya Anda diberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan perusahaan kepada Anda. Jika tidak diberikan, Anda berhak untuk memintanya.
Karena pekerjaan Anda ini bukan merupakan pekerjaan bebas (memiliki usaha bebas), maka seharusnya Anda tidak boleh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (kasus serupa dengan agen asuransi yang selama ini menjadi perdebatan sengit dan akhirnya ada penegasan resmi dari pihak DJP).
Sebenarnya pengertian memiliki pekerjaan bebas atau usaha bebas adalah jika seorang Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menjalankan usaha bebasnya tidak terikat dengan pihak pemberi kerja, dan ia bebas mengendalikan usahanya termasuk dalam menentukan tarif penghasilan yang akan diterimanya.
Umumnya ciri dari seorang yang menjalankan usaha (pekerjaan) bebas adalah ia menerima langsung penghasilan dari klien/nasabah/pelanggannya secara langsung (bukannya klien membayar fee kepada perusahaan yang mempekerjakan orang pribadi ini, kemudian orang pribadi ini mendapatkan penghasilan dari pembayaran imbalan oleh perusahaan). Selain itu, ciri utama seseorang yang menjalankan usaha (pekerjaan) bebas adalah orang pribadi yang bersangkutan memiliki wewenang untuk menetapkan harga kepada para pelanggannya.
Jadi dalam menghitung penghasilan Anda dalam SPT Tahunan Anda, penghasilan bruto yang Anda terima dari perusahaan langsung dikurangkan dengan PTKP, kemudian dikalikan dengan tarif Pasal 17 UU PPh.

Konsultasi Pajak Gratis: Pelaporan SPT untuk Karyawan Pindah Kerja

Tanya:
Dearest Pak Anto,
ada kasus seorang karyawan dalam satu tahun pajak 2008 bekerja dalam 2 perusahaan ; jan-mei di PT.A kemudian pindah jun-des di PT B sehingga untuk tahun pajak 2008 dia mempunyai 1721-A1 dua lembar.
Karena total penghasilan jika digabung masih dibawah Rp 60juta dan ternyata pada saat masuk ke PT.B dia tidak menyerahkan form 1721-A1 dari PT A ; sehingga jika digabung di SPT Tahunan pribadinya akan timbul kurang bayar.

Pertanyaannya adalah form 1770 SS tidak mengakomodasi untuk kasus kurang bayar seperti di atas; apakah:
  1. tetap membayar kurang bayar tsb. dan melampirkan SSP nya di form 1770 SS
  2. tidak membayar kekurangan tsb. karena di form 1770 SS tidak ada pilihan lain kecuali mengisi total harta & total kewajiban

Terima kasih atas waktu Bapak untuk menyempatkan membaca dan menjawab pertanyaan ini.

Jawab:

Sering kali kasus serupa terjadi akibat menyalahi ketentuan yang berlaku. Jika sudah salah seperti ini, maka akan sulit bagi kita untuk melakukan sesuai dengan ketentuan teoritisnya. Seharusnya pemberi kerja yang kedua (PT B) menanyakan kepada pegawai yang bersangkutan mengenai Penghasilan sebelumnya serta menjumlahkan penghasilan sebelumnya tersebut dalam form 1721 A1 yang dibuat oleh PT B. Akibat kesalahan ini, maka PT B menjadi kurang memotong. Kelak jika diperiksa, PT B harus melunasi kekurangan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut.
Namun jika hingga saat Anda akan membuat SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, namun kekurangan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut masih belum dilunasi oleh PT B, maka karyawan yang bersangkutan perlu melunasi kekurangan bayar PPh tersebut melalui SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya.
Sebenarnya SPT 1770 SS hanya digunakan untuk pegawai yang bekerja hanya pada 1 (satu) pemberi kerja dengan penghasilan bruto sampai dengan Rp 60 juta setahun dan tidak memiliki penghasilan lainnya. Dalam kasus Anda ini, karyawan tersebut telah bekerja pada 2 (dua) pemberi kerja (walau gabungan penghasilannya masih di bawah Rp 60 juta). Maka karyawan tersebut harus melaporkan penghasilannya dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir 1770 S. Kekurangan bayar PPh dari hasil penghitungan dalam SPT tersebut agar dilunasi sendiri sebagai PPh Pasal 29.

Konsultasi Pajak Gratis: Pemajakan Penghasilan Yang Diterima Penduduk Singapura

Tanya:

Perusahaan kita menggunakan jasa dari holdingnya dari ABC, Inc di Singapura atas jasa management, menurut pemeriksa atas jasa service tersebut harus dikenakan PPh Pasal 26 atas jasa. Pertanyaan saya apakah pengenaan pajak tersebut dikenakan di Indonesia atau di negara asal perusahaan yang memberikan jasa tersebut (Singapura).

Jawab:

Kutipan dari Pasal 7 Tax Treaty Indonesia dan Singapura:
"Laba usaha penduduk salah satu Negara Pihak pada perjanjian akan dikecualikan dari pengenaan pajak oleh Negara Pihak Lainnya pada Perjanjian kecuali penduduk tersebut menjalankan usaha di Negara Pihak lainnya pada Perjanjian tsb melalui suatu bentuk usaha tetap,....."

Maksudnya adalah:
Hak pemajakan terhadap penghasilan yang diterima oleh perusahaan penduduk Singapura akan dipajaki di Singapura. Namun ada pengecualian, yaitu:
Hak pemajakan baru akan dikenakan pada negara pihak lainnya, yaitu Indonesia tempat penduduk dari Singapura tadi mendapatkan penghasilan, jika perusahaan Singapura tersebut memiliki BUT.
Dalam hal ini berarti kita harus memahami konsep BUT. Sesuatu bentuk yang dapat didefinisikan sebagai BUT adalah sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) UU PPh.
Jika telah memenuhi ketentuan sebagai BUT, namun belum didaftarkan untuk memperoleh NPWP sebagai BUT, maka pihak fiskus dapat menetapkannya secara jabatan sebagai BUT. Dengan demikian, maka hak pemajakan terhadap jasa yang diterima oleh holding ABC, Inc. Singapura akan menjadi hak pemerintah Indonesia.
Jadi coba pelajari apakah jasa yang diberikan oleh holding ABC, Inc. Singapura dapat dikategorikan sebagai BUT.

Jumat, 20 Februari 2009

Konsultasi Pajak Gratis: Pelaporan SPT untuk Hadiah Perkawinan

TANYA:
Siang pak anto...

Apakah ["Hadiah Perkawinan" berupa uang yg terkumpul] merupakan objek pajak seperti pengertian Pasal 4 huruf b ?
atau termasuk pengertian sumbangan (bukan objek pajak) ? ==== SPT 1770

Terimakasih sebelumnya atas kesediaan pak anto menjawab permasalahan kami ini...

JAWAB:

Definisi "Hadiah Perkawinan" atau "Sumbangan Perkawinan" ini yang sering menjadi bahan perdebatan.

Jika kita artikan dari arti harfiah dari pemberian yang diberikan pada saat perkawinan biasanya disebut sebagai kado atau hadiah (bahasa Inggris = "present" atau kadang juga disebut "gift"). Namun karena gengsi, maka biasanya orang lebih suka menyebutnya sebagai hadiah daripada sumbangan.
Namun jika kita cermati istilah "Hadiah" dalam UU PPh, hadiah adalah merupakan penghasilan yang menjadi objek PPh (berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf b UU PPh). Hadiah yang disebutkan dalam ayat ini termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Umumnya pemberian hadiah ini dikaitkan dengan adanya hubungan pekerjaan atau kegiatan.

Sedangkan jika disebut sebagai "sumbangan", maka objek ini adalah merupakan penghasilan yang bukan merupakan objek Pajak (berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh). Syarat suatu sumbangan bukan merupakan objek PPh bagi penerima sumbangannya adalah sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Jadi menurut saya, seharusnya pemberian dari para tamu undangan pada suatu pernikahan lebih cocok jika disebut sebagai pemberian sumbangan yang tidak ada kaitannya dengan hubungan pekerjaan atau kegiatan dan lebih cenderung sebagai tanda ungkapan turut berbahagia dalam rangka mempererat hubungan silahturahmi sehingga pemberian (sumbangan) ini bukan merupakan objek PPh.

Namun berbeda jika pemberian dalam pernikahan ini dapat dikatakan sebagai suatu hadiah, jika antara pihak pemberi dengan penerima ada hubungan pekerjaan/kegiatan dan biasanya pemberian dalam jumlah besar sebagai tujuan untuk memperlancar usaha. Maka pemberian jenis ini akan dikategorikan sebagai pemberian hadiah yang merupakan objek PPh.

Ulasan lebih lanjut dapat dibaca di sini.