..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Urus Pajak Sendiri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Urus Pajak Sendiri. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 Desember 2022

Sertifikat Elektronik Bagi Wakil atau Kuasa Wajib Pajak Untuk Pembuatan Bukti Potong Unifikasi

Ingat bahwa sejak 1 Januari 2023, Wajib Pajak Badan yang akan membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sudah tidak dapat lagi menggunakan sertifikat elektronik yang selama ini digunakan (yang diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017).

Untuk dapat membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi ini, maka Wakil dari Wajib Pajak Badan (yaitu Pengurus) ataupun Kuasa dari Wajib Pajak Badan tersebut sebagai penandatangan Bukti Pemotongan/Pemungutan yang akan diterbitkan, harus mengajukan permohonan untuk diterbitkan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi DJP bagi diri Wakil atau Kuasa Wajib Pajak Badan itu sendiri, sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2021 tanggal 28 Desember 2021.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa saat ini Pemotong/Pemungut Pajak wajib membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi dan ditandatangani secara elektronik dengan tanda tangan elektronik. Demikian halnya pula dengan SPT Masa PPh *), Wajib Pajak Pemotong/Pemungut Pajak wajib membuat SPT Masa PPh Unifikasi melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi dan ditandatangani secara elektronik dengan tanda tangan elektronik dan juga disampaikan melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi.

Untuk dapat menandatangani SPT Masa PPh Unifikasi dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi, terlebih dahulu Wakil atau Kuasa dari Pemotong/Pemungut Pajak Badan harus memiliki Sertifikat Elektronik (Sertel) dari Direktorat Jenderal Pajak.

Sejak tanggal 1 Januari 2023, Sertel yang akan digunakan untuk dapat membuat dan melaporkan SPT Masa PPh Unifikasi besarta Bukti Pemotongannya, haruslah Sertel milik orang pribadi sebagai wakil dari Pemotong/Pemungut PPh yang merupakan Wajib Pajak Badan dan sudah tidak dapat lagi menggunakan Sertel yang diberikan untuk Wajib Pajak Badan tersebut (yang biasanya digunakan untuk membuat e-Faktur).

Menurut ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang KUP, disebutkan bahwa wakil dari Wajib Pajak Badan adalah:
  1. badan oleh pengurus; yang dimaksud pengurus adalah orang yang namanya tercantum di akta pendirian badan tersebut seperti direksi, ketua/sekretaris/bendahara yayasan/organisasi/koperasi dan sebagainya;
  2. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
  3. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
  4. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
Dengan demikian, bagi Wajib Pajak Badan agar segera mengurus sertifikat elektronik untuk masing-masing pengurus dari Wajib Pajak Badan ini supaya mulai 1 Januari 2023, dapat membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh Unifikasi (e-Bupot) serta melaporkan SPT Masa PPh Unifikasi.

Cara Untuk Mendapatkan Sertifikat Elektronik 


 
Untuk memperoleh sertifikat elektronik maka Wakil Wajib Pajak badan harus mengajukan surat permohonan untuk mendapatkan sertifikat elektronik. Adapun persyaratan permohonan adalah sebagai berikut:
  1. Formulir Permintaan Sertifikat Elektronik yang telah diisi dan ditandatangani 
  2. Fotokopi KTP dan NPWP Pemilik (Paspor untuk WNA)
  3. Fotokopi Kartu Keluarga Pemilik (KITAS atau KITAP untuk WNA) 
  4. Softcopy pas photo Pemilik terbaru 1 tahun terakhir
  5. Pengaju Permohonan Telah melaporkan SPT Tahunan terakhir yang sudah jatuh tempo (untuk saat iniTahun 2021)
Untuk syarat lainnya bergantung pada KPP masing-masing. Ada beberapa KPP yang memperbolehkan Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat elektronik secara online melalui email. Untuk lebih jelasnya Pembaca Setia Tax Learning dapat menanyakan ke KPP terdaftar. 
 
*) Catatan:
SPT Masa PPh Unifikasi yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah:
  1. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2);
  2. SPT Masa PPh Pasal 15;
  3. SPT Masa PPh Pasal 22;
  4. SPT Masa PPh Pasal 23; dan
  5. SPT Masa PPh Pasal 26
Update 3 Januari 2023:
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat pada tanggal 3 Januari 2023 mengeluarkan Pengumuman Nomor PENG-1/PJ.09/2023 menginformasikan bahwa dalam rangka rancang ulang proses bisnis administrasi perpajakan melalui Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan dan pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2021, bahwa penggunaan Sertifikat Elektronik sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017, EFIN sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-41/PJ/2015 dan Kode Verifikasi berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2019 masih tetap berlaku sampai dengan tersedianya Sertifikat Elektronik dan Kode Otorisasi Direktorat Jenderal Pajak di dalam sistem informasi DJP.
 
(c) syafrianto.blogspot.com

Download:

Jumat, 30 Maret 2012

Hari Terakhir Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2011

Besok tanggal 31 Maret 2012 adalah merupakan hari terakhir untuk pelaporan SPT Taahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2011. Namun besok adalah hari Sabtu yang merupakan hari libur bagi instansi Pemerintah termasuk juga bagi seluruh jajaran kantor di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Pada tahun-tahun sebelumnya, apabila hari terakhir batas waktu pelaporan SPT Tahunan bertepatan dengan hari libur, maka biasanya Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan kebijakan dengan tetap membuka pelayanan kepada Wajib Pajak dalam pelaporan SPT pada hari libur tersebut. Lalu bagaimanakah pelayanan penerimaan SPT kali ini, apakah besok Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetap buka?

Kebijakan mengenai pengaturan waktu di luar jam kerja dalam melayani Wajib Pajak yang akan melaporkan SPT Tahunan tahun 2011 diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ/2012 tanggal 6 Maret 2012 mengatur tentang jadwal pelayanan tambahan untuk penerimaan SPT Tahunan PPh tahun 2011 di luar hari kerja.

Dalam SE-10/PJ/2012 ini ditegaskan bahwa di bulan Maret 2012 ini Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP akan tetap membuka kantornya di hari libur adalah pada hari Sabtu tanggal 31 Maret 2012 mulai pukul 08.00 s.d. 20.00 waktu setempat.

Sebagaimana kita ketahui bahwa berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 diatur bahwa batas waktu penyetoran PPh yang masih kurang bayar berdasarkan perhitungan dalam SPT Tahunan (PPh Pasal 29) adalah sebelum SPT Tahunan disampaikan. Artinya bahwa setoran PPh Pasal 29 juga dapat dilakukan pada tanggal 31 Maret 2012. Namun apakah besok bank persepsi atau kantor pos membuka layanan untuk menerima setoran pajak?

Dalam SE-10/PJ/2012 ditegaskan bahwa bank persepsi dan kantor pos tidak membuka layanan untuk menerima setoran pajak pada tanggal 31 Maret 2012. Oleh sebab itu, dalam Surat Edaran tersebut menghimbau kepada para Wajib Pajak yang akan melakukan penyetoran PPh Pasal 29 agar menyetorkannya pada hari ini tanggal 30 Maret 2012.

Minggu, 18 Maret 2012

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Bagi sebagian orang, terutama bagi yang baru pertama kali mengisi SPT, akan merasa kesulitan dalam mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Oleh karena itu, setiap tahun menjelang batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi penulis selalu mendapatkan pertanyaan dari para Pembaca setia Tax Learning mengenai hal-hal seputaran pengisian dan pelaporan SPT Tahunan PPh. Untuk memberikan penjelasan dan panduan kepada para Pembaca setia Tax Learning, penulis telah menuangkan dalam beberapa artikel. Namun karena sudah cukup banyak artikel yang telah diposting dalam blog ini, tentunya menyulitkan bagi Pembaca sekalian untuk mencari artikel terkait. Oleh sebab itu, maka melalui artikel ini penulis mencoba untuk menghimpun artikel yang membahas mengenai pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang sudah dibahas di blog ini.

Sebagaimana diketahui bahwa formulir yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dalam melaporkan pajak pribadinya untuk tahun pajak 2011 yang harus disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2012 terdiri dari 3 (tiga) jenis formulir, yaitu:
  1. Formulir SPT 1770 SS. Formulir ini khusus disediakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang selama 1 (satu) tahun pajak hanya memperoleh penghasilan dari 1 pemberi kerja (menjadi karyawan dan menerima gaji hanya pada 1 perusahaan/majikan) dengan jumlah penghasilan bruto tidak melebihi Rp 60 juta, memperoleh penghasilan dari bunga tabungan/deposito di bank, dan penghasilan dari bunga koperasi. Apabila Wajib Pajak orang pribadi tidak memenuhi ketentuan ini, atau isteri/anggota keluarga mendapatkan penghasilan, maka Wajib Pajak ini tidak dapat melaporkan pajaknya dengan menggunakan formulir 1770 SS ini.
  2. Formulir SPT 1770 S. Formulir ini digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang memperoleh penghasilan aktif sebagai karyawan pada 1 (satu) atau lebih pemberi kerja (perusahaan/majikan) yang tidak memenuhi kriteria untuk menggunakan SPT 1770 SS dan memiliki penghasilan lain yang bukan dari kegiatan usaha bebas dan/atau pekerjaan bebas.
  3. Formulir SPT 1770. Formulir ini digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang mendapatkan penghasilan dari usaha bebas dan/atau pekerjaan bebas.

Bentuk formulir SPT yang digunakan untuk tahun pajak 2011 masih sama dengan bentuk formulir yang digunakan untuk tahun pajak 2010. Untuk selengkapnya, formulir tersebut dapat di download di artikel berikut.

Bagaimanakah cara mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi?

Sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak telah menerbitkan buku panduan pengisian SPT Tahunan secara cuma-cuma. Namun penulis menyadari, bahwa bagi sebagian Wajib Pajak yang tidak memiliki latar belakang ilmu akuntansi atau ilmu perpajakan akan sulit untuk memahami buku petunjuk pengisian SPT tersebut. Sehingga untuk membantu para Pembaca setia Tax Learning untuk dapat mengisi SPT secara mudah, penulis telah menyajikan panduan secara sederhana berupa contoh, dalam artikel yang dapat diakses di:
-Panduan pengisian SPT Tahunan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan.

Kemanakah SPT Tahunan PPh tahun 2011 Harus Dilaporkan?

Setelah mengisi dan menyetorkan PPh kurang bayar berdasarkan perhitungan dalam SPT Tahunannya, maka Wajib Pajak harus melaporkan SPT Tahunannya ini. Wajib Pajak dapat menyampaikan laporan SPT Tahunan ini ke Kantor Pelayanan Pajak tempat dia terdaftar, Kantor Pelayanan Pajak lainnya di seluruh Indonesia, Pojok Pajak, Mobil Pajak, atau Drop Box.

Drop Box adalah suatu tempat yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak khusus untuk menerima pelaporan SPT Tahunan PPh. Drop Box ini biasanya dibuka sekitar bulan Februari, Maret dan April. Lokasi Drop Box tersebar di seluruh Indonesia di daerah pusat keramaian seperti di pusat perbelanjaan, kantor pos, kantor pemerintahan, sekolah dan pusat strategis lainnya. Wajib Pajak dapat melaporkan SPT Tahunan PPh-nya ke lokasi Drop Box manapun di seluruh Indonesia. Untuk tahun 2012 ini, Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan sejumlah tempat sebagai lokasi Drop Box. Untuk mengetahui lokasi Drop Box selengkapnya dapat diakses di situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, di link berikut ini.


Bagaimanakah Ketentuan Pelaporan SPT Bagi Wajib Pajak Yang Berada di Luar Negeri?

Bagi Wajib Pajak yang berada di Luar Negeri melebihi jangka waktu 183 hari dalam periode 12 bulan serta tidak lagi mendapatkan/memperoleh penghasilan di Indonesia dapat tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Namun terlebih dahulu Wajib Pajak ini harus mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak Non Efektif yang ketentuannya diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-89/PJ/2009. Artikel mengenai kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang berada di luar negeri ini akan dibahas dalam artikel berikutnya.

Jumat, 22 Juli 2011

Penomoran Faktur Pajak Harus Berurutan

Faktur Pajak adalah merupakan bukti pungutan pajak yang harus dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan (penjualan) Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Faktur Pajak yang dibuat oleh seorang Pengusaha Kena Pajak harus memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN). Dalam ketentuan Pasal 13 ayat (5) ini, diatur bahwa salah satu informasi yang harus ada dalam faktur pajak adalah harus mencantumkan kode, nomor seri dan tanggal faktur pajak. Apabila suatu faktur pajak tidak mencantumkan informasi mengenai kode, nomor seri dan tanggal faktur pajak maka faktur ini tidak memenuhi persyaratan formal dan material sebagai faktur pajak dan akan dianggap cacat serta tidak dapat dikreditkan oleh pihak pembeli BKP atau pengguna JKP.

Lebih lanjut, tata cara pemberian kode dan nomor seri faktur pajak serta tanggal faktur pajak diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-65/PJ/2010. Pasal 9 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-65/PJ/2010 diatur secara terperinci tentang bagaimana cara pemberian nomor seri faktur. Secara ringkas, hal-hal yang harus dilakukan dalam pemberian nomor dan tanggal faktur pajak adalah:
  1. Nomor urut pada Nomor Seri Faktur Pajak dan tanggal Faktur Pajak harus dibuat secara berurutan, tanpa perlu dibedakan antara Kode Transaksi, Kode Status Faktur Pajak dan mata uang yang digunakan.
  2. Penerbitan Faktur Pajak dimulai dari nomor urut 00000001 pada setiap awal tahun kalender mulai 1 Januari, kecuali bagi PKP yang baru dikukuhkan atau yang pindah KPP.
  3. Bila sebelum awal tahun kalender berikutnya, nomor urut pada Faktur Pajak yang digunakan oleh PKP telah mencapai Nomor Urut 99999999 (telah habis), maka PKP dapat memulai Nomor Urut pada Faktur Pajak berikutnya dari awal, yaitu 00000001. Untuk melakukan hal ini, PKP harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke Kepala KPP tempat PKP dikukuhkan.
  4. PKP yang tidak memenuhi ketentuan pemberian nomor dan tanggal pada Faktur Pajak sebagaimana disebutkan di atas, maka Faktur Pajak yang diterbitkan dianggap cacat.

Dalam prakteknya, sering terjadi kesalahan penerbitan Faktur Pajak akibat pemberian nomor seri faktur pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan. Kemungkinan kesalahan ini terjadi akibat kesalahan manusiawi dari pembuat Faktur Pajak. Penulis sering menerima pertanyaan mengenai kesalahan pemberian nomor seri faktur pajak ini. Misalkan terjadi penomoran yang tidak berurut atau ada nomor yang terlewatkan (nomor loncat), nomor urut yang semakin besar namun tanggal pada faktur malah tanggal terdahulu (kembali ke tanggal sebelum faktur pajak yang terakhir telah diterbitkan), pada tanggal 1 Januari lupa membuat nomor seri faktur pajak kembali ke nomor pertama (Nomor 00000001). Apabila terjadi hal-hal seperti ini, tentunya menyebabkan faktur pajak yang diterbitkan setelah kesalahan tersebut akan menjadi cacat. Lalu, bagaimanakah solusi yang dapat dilakukan atas Faktur Pajak yang cacat karena hal ini? Pertanyaan ini sangat sering diajukan oleh para Pengusaha Kena Pajak maupun para Pembaca Setia Tax Learning kepada penulis. Oleh sebab itu, maka pada artikel berikut ini penulis akan uraikan solusinya.

Untuk mengantisipasi dan memberikan panduan kepada PKP yang telah menerbitkan Faktur Pajak dengan kode dan nomor seri faktur pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam PER-13/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan PER-65/PJ/2010, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan penegasan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-151/PJ/2010. Dalam penegasannya disebutkan bahwa apabila PKP yang menerbitkan Faktur Pajak dengan nomor urut pada Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) PER-65/PJ/2010 dapat menerbitkan Faktur Pajak Pengganti, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Faktur Pajak yang salah pengisian nomor urutnya diganti dengan Faktur Pajak pengganti dengan mengisi nomor urut pada Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak dengan nomor urut yang sebenarnya.
  2. Kode Status pada Kode Faktur Pajak Pengganti adalah Kode Status 1 (satu).
  3. Tahun Penerbitan pada Nomor Seri Faktur Pajak Pengganti adalah tahun penerbitan Faktur Pajak yang diganti.
  4. Tanggal penerbitan Faktur Pajak Pengganti sama dengan tanggal penerbitan Faktur Pajak yang diganti.
  5. Pada Faktur Pajak Pengganti dibubuhkan cap yang mencantumkan Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak yang diganti.
  6. Faktur Pajak Pengganti dan Faktur Pajak yang diganti agar diadministrasikan dan digabungkan menjadi 1 (satu) berkas.
  7. PKP harus melakukan pembetulan SPT Masa PPN pada Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak yang diganti.

a. Kesalahan penomoran faktur pajak pada awal tahun tidak dimulai dari nomor “00000001”

Bagi PKP melakukan kesalahan penomoran faktur pajak dimana pada awal tahun (1 Januari) penomoran faktur pajak tidak kembali ke nomor awal, maka pembetulan yang harus dilakukan adalah seperti contoh berikut:
Pada tahun 2010 PT A telah menerbitkan Faktur Pajak sebanyak 48 Faktur dengan nomor Faktur Pajak terakhir adalah 010.000-10.00000048 tanggal 31 Desember 2010. Faktur Pajak yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2011 (atas transaksi pertama di tahun 2011) masih diberi nomor urut menyambung dari nomor urut faktur pajak yang telah diterbitkan di tahun 2010, yaitu dengan nomor Faktur Pajak 010.000-11.00000049 tanggal 1 Januari 2011. Faktur Pajak kedua juga salah diberi nomor urut, yaitu dengan Nomor Faktur Pajak 010.000-11.00000050 tanggal 28 Februari 2011. Kesalahan penomoran ini baru disadari oleh PKP pada saat akan menerbitkan Faktur Pajak yang ketiga pada tanggal 2 Maret 2011.

Maka atas kesalahan pemberian nomor urut Faktur Pajak yang pertama dan kedua di tahun 2011 tersebut, PKP harus melakukan penggantian Faktur Pajak dengan mekanisme sesuai yang telah diuraikan di atas, menjadi:
  1. Faktur Pajak Nomor 010.000-11.00000049 tanggal 1 Januari 2011 diganti menjadi Nomor 011.000-11.00000001 tanggal 1 Januari 2011
  2. Faktur Pajak Nomor 010.000-11.00000050 tanggal 28 Februari 2011 diganti menjadi Nomor 011.000-11.00000002 tanggal 28 Februari 2011.
Atas penggantian Faktur Pajak ini, PKP harus membetulkan SPT Masa PPN yang telah melaporkan kedua faktur pajak yang nomornya salah ini.

Sedangkan pada tanggal 2 Maret 2011, ketika PKP akan menerbitkan faktur pajak yang ketiga, maka Faktur Pajak yang ketiga ini harus diberi nomor urut yang benar, yaitu 010.000-11.00000003 tanggal 2 Maret 2011.

b. Kesalahan penomoran faktur pajak selama tahun pajak berjalan yang tidak urut (nomor loncat)

Bagi PKP melakukan kesalahan penomoran faktur pajak selama tahun pajak berjalan yang tidak urut (nomor terlewat atau loncat), maka pembetulan yang harus dilakukan adalah seperti contoh berikut:
Sejak 1 Januari 2011 sampai dengan 28 Februari 2011 PT B telah menerbitkan Faktur Pajak sebanyak 4 Faktur dengan nomor Faktur Pajak terakhir adalah 010.000-11.00000004 tanggal 28 Februari 2011. Ternyata pada saat menerbitkan Faktur Pajak yang kelima dan keenam PT B telah salah memberikan nomor Faktur Pajak yaitu dengan nomor Faktur Pajak 010.000-11.00000008 tanggal 3 Maret 2011 dan nomor Faktur Pajak 010.000-11.00000009 tanggal 20 April 2011 (nomor urut terloncat 3 nomor).
PT B baru menyadari kesalahan ini pada tanggal 8 Mei 2011 ketika akan membuat Faktur Pajak yang ketujuh.
Maka atas kesalahan pemberian nomor urut Faktur Pajak yang pertama dan kedua di tahun 2011 tersebut, PKP harus melakukan penggantian Faktur Pajak dengan mekanisme sesuai yang telah diuraikan di atas, menjadi:
  1. Faktur Pajak Nomor 010.000-11.00000008 tanggal 3 Maret 2011 diganti menjadi Nomor 011.000-11.00000005 tanggal 3 Maret 2011
  2. Faktur Pajak Nomor 010.000-11.00000009 tanggal 20 April 2011 diganti menjadi Nomor 011.000-11.00000006 tanggal 20 April 2011.
Atas penggantian Faktur Pajak ini, PKP harus membetulkan SPT Masa PPN yang telah melaporkan kedua faktur pajak yang nomornya salah ini.

Sedangkan pada tanggal 8 Mei 2011, ketika PKP akan menerbitkan faktur pajak yang ketujuh, maka Faktur Pajak yang ketujuh ini harus diberi nomor urut yang benar, yaitu 010.000-11.00000007 tanggal 8 Mei 2011.
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Update: Penomoran Faktur Pajak Tidak Perlu Urut Lagi
Sejak 1 April 2012, ketentuan mengenai penomoran Faktur Pajak yang harus urut ini sudah dicabut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 (peraturan ini juga sudah diperbaharui dengan PER-08/PJ/2013 kemudian diubah lagi dengan PER-17/PJ/2014). Dengan demikian, sejak tanggal 1 April 2012, para Pengusaha Kena Pajak sebagai penerbit Faktur Pajak tidak perlu khawatir lagi mengenai penerbitan Faktur Pajak yang harus berurutan ini.

Artikel Terkait:
Prosedur Pelaporan Faktur Pajak Pengganti dan Faktur Pajak Batal

Selasa, 31 Mei 2011

Pemotongan Pajak atas Penghasilan yang Diterima Blogger

"Saat ini blogger tengah dilirik oleh berbagai pihak sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat"

Pendahuluan

Kira-kira demikianlah yang terlihat ketika penulis berkesempatan diundang hadir dalam acara launching produk Operator Seluler "Indosat Mobile" di Hotel Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta tanggal 25 Mei 2011. Dalam acara launching produk ini, peserta yang mendapatkan undangan khusus adalah para jurnalis/wartawan dari media cetak dan media elektronik, anggota komunitas, serta para blogger. Di sini penulis melihat bahwa peran para blogger sebagai media penyampai informasi telah dilirik oleh pihak advertiser (pemasang iklan).

Mengutip sebuah riset yang telah disampaikan oleh seorang pengamat media massa, Hendro D. Laksono (kompas.com 30-12-2010) menyebutkan bahwa selama tahun 2010, belanja iklan di media online meningkat sebesar 400% dan telah mencapai 4% dari total belanja iklan nasional. Padahal di tahun 2009, total belanja iklan di media online hanya mencapai 1,4%. Memang porsi belanja iklan ini belum seberapa jika dibandingkan dengan porsi belanja iklan terbesar yang masih dipegang oleh media elektronik televisi dan radio, kemudian disusul oleh media cetak. Bahkan menurut perkiraan, bahwa kenaikan porsi belanja iklan media online akan naik cukup signifikan dalam waktu 3-5 tahun (diungkapkan oleh Charles Buchwalter, Chief Executive Officer Nielsen Online Japan pada Forum Media Asia Pasifik (APMF) ke-4 di Nusa Dua, Bali 3 Juni 2010.

Apalagi setelah penulis bertemu dengan rekan-rekan blogger yang diundang dari salah satu media penghubung antara advertiser (pemasang iklan) dengan para pemilik blog, idblognetwork.com, maka penulis merasa yakin bahwa prediksi peningkatan pemasang iklan pada media online, terutama blog akan meningkat cukup pesat di tahun-tahun mendatang. Bahkan sekarang ini tidak jarang ada blogger yang dapat hidup hanya dari usahanya mengelola blog mereka. Berdasarkan potensi yang cukup besar yang dapat diperoleh oleh para pemilik blog, maka tidak dapat kita hindari lagi bahwa tentulah ada aspek pajak yang akan timbul, minimal dari penghasilan yang diterima oleh para blogger tersebut. Ketika bertemu dengan Mubarika Darmayanti, salah seorang founder idblognetwork.com penulis sempat berdiskusi mengenai aspek pajak atas blogger, malah Mubarika sangat mengharapkan agar penulis dapat membuat artikel mengenai pajak atas penghasilan blogger. Oleh sebab itu, dalam artikel ini penulis akan mengangkat topik mengenai aspek perpajakan bagi para blogger. Pada artikel ini, penulis hanya akan membahas pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh blogger atas penghasilan yang diperoleh dari pihak penyedia jasa periklanan atas pemasangan iklan di suatu situs/blog yang dalam dunia online lebih dikenal sebagai “adsense”. Blogger yang dibahas di sini adalah blogger orang pribadi dan tidak berbentuk badan usaha (berbadan hukum).

Mekanisme Transaksi
Salah satu jenis penghasilan yang banyak diperoleh oleh para blogger adalah penayangan suatu materi iklan pada blog/situs milik blogger yang dikenal dengan istilah “adsense”. Mekanisme transaksi untuk jenis “adsense” ini adalah pihak advertiser sebagai pemilik iklan yang ingin memasangkan iklan pada situs/blog tertentu membayar pihak penyedia jasa periklanan online untuk memasangkan iklannya pada situs/blog yang telah bekerja sama dengan pihak penyedia jasa periklanan online.
Kemudian pihak penyedia jasa periklanan akan memasangkan materi iklan yang telah dipesan oleh advertiser ke sejumlah situs/blog yang telah bekerja sama dengan (terdaftar pada) pihak penyedia jasa periklanan.
Dari hasil penayangan iklan di situs/blog, melalui mekanisme perhitungan penghasilan yang telah ditetapkan dan disepakati oleh pihak advertiser dengan pihak penyedia jasa periklanan, para blogger sebagai pemilik situs/blog (biasa disebut sebagai “publisher”) akan memperoleh bayarannya.

Mekanisme Penghitungan Penghasilan
Biaya pemasangan iklan yang dibebankan kepada advertiser adalah didasarkan pada jumlah banyaknya iklan yang mereka pasang tersebut di suatu situs/blog diakses (klik) oleh pengunjung lain selain pemilik situs/blog. Umumnya advertiser harus membayar sejumlah uang untuk pasang iklan berdasarkan paket berapa kali diakses oleh pengunjung. Apabila jumlah diakses oleh pengunjung ini telah mencapai batas, maka iklan dari advertiser tersebut tidak akan ditayangkan di situs/blog target pasang iklan.
Sedangkan penghasilan dari pemilik situs/blog atas iklan yang ditayangkan di situs/blognya tersebut adalah berdasarkan banyaknya pengunjung berbeda yang telah mengakses iklan tersebut.

Aspek Perpajakan Bagi Penyedia Jasa Periklanan Online

1. Kewajiban Memotong Pajak

Kewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas pembayaran penghasilan yang dibayarkan kepada pemilik situs/blog. Umumnya pemilik situs/blog adalah orang pribadi. Maka atas penghasilan yang dibayarkan kepada para pemilik situs/blog sebagai orang pribadi akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan PER-57/PJ/2009 menegaskan bahwa Pemberi Kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai, wajib memotong PPh Pasal 21.
Jika kita simak bunyi dari Pasal ini, maka dapat kita simpulkan bahwa atas pemberi kerja (dalam hal ini pihak penyedia jasa periklanan) yang membayarkan pembayaran sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi bukan pegawai (dalam hal ini adalah para blogger yang memperoleh penghasilan atas iklan yang diakses melalui blog/situs mereka), diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada para blogger tersebut.

2. Tarif PPh
Besarnya tarif PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pihak penyedia jasa periklanan atas pembayaran penghasilan kepada para blogger orang pribadi dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh atas jumlah kumulatif 1 (satu) tahun kalender dari penghasilan kena pajak bagi bukan pegawai yang diterima secara berkesinambungan.
Penghasilan kena pajak yang diterima bukan pegawai yang diterima secara berkesinambungan adalah sebesar 50% dari dari jumlah penghasilan bruto. Sedangkan besarnya tarif Pasal 17 UU PPh adalah:
  1. Penghasilan sampai dengan Rp 50 juta, tarif PPhnya 5%
  2. Penghasilan di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 250 juta, tarif PPhnya 15%
  3. Penghasilan di atas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta, tarif PPhnya 25%
  4. Penghasilan di atas Rp 500 juta, tarif PPhnya 30%

3. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Yang Harus Dipotong atas Penghasilan Blogger
Shandy Sundoro adalah seorang blogger yang terdaftar sebagai member di idblognetwork.com dan merupakan Publisher. Selama tahun 2011, blog milik Shandy Sundoro mendapatkan iklan untuk diterbitkan dari para advertiser melalui idblognetwork.com. Atas iklan-iklannya tersebut, Shandy mendapatkan penghasilan sebagai berikut:
  1. Januari 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 40 juta
  2. Februari 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 70 juta
  3. Maret 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 180 juta
Maka Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork.com ketika membayarkan penghasilan kepada Shandy setiap bulannya adalah:

a. Januari 2011
Penghasilan Rp 40 juta
Penghasilan Kena Pajak (PKP)= 50% x Rp 40 juta = Rp 20 juta
PPh Pasal 21 = 5% x Rp 20 juta (tarif 5% karena akumulasi PKP mulai awal 2011 masih di bawah Rp 50 juta).
Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork untuk pembayaran penghasilan bulan Januari 2011 adalah sebesar Rp 1 juta.

b. Februari 2011
Penghasilan Rp 70 juta
Penghasilan Kena Pajak (PKP)= 50% x Rp 70 juta = Rp 35 juta
Akumulasi Penghasilan Kena Pajak: Januari: Rp 20 juta; Februari: Rp 35 juta. Sehingga total akumulasi selama 2 bulan adalah Rp 55 juta (sudah melampaui lapisan pertama dari tarif PPh Pasal 17).
Sehingga perhitungan PPh Pasal 21 =
-5% x Rp 30 juta = Rp 1.500.000
-15% x Rp 5 juta = Rp 750.000
Total PPh Pasal 21 = Rp 1.500.000 + Rp 750.000 = Rp 2.250.000

Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork untuk pembayaran penghasilan bulan Februari 2011 adalah sebesar Rp 2.250.000.

c. Maret 2011
Selanjutnya silakan kepada para Pembaca Setia Tax Learning, cobalah hitung besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork.com atas pembayaran penghasilan kepada Shandy untuk bulan Maret 2011. Jawaban boleh diposting di bawah ini.

Sebagai catatan, perhitungan PPh Pasal 21 di atas diasumsikan bahwa Shandy Sundoro sebagai penerima penghasilan memiliki NPWP. Apabila penerima penghasilan orang pribadi tidak memiliki NPWP, maka tarif PPh Pasal 21 akan dikenakan 20% lebih tinggi dari tarif normal tersebut di atas. Misalkan jika Shandy Sundoro tidak memiliki NPWP, maka perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong atas penghasilan bulan Januari 2011 adalah: 120% x 5% x Rp 20 juta. Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk penghasilan Januari 2011 adalah sebesar Rp 1.200.000.

Potongan PPh Pasal 21 ini adalah merupakan kredit pajak sebagai pengurang PPh terutang untuk seluruh penghasilan yang diterima oleh blogger tersebut selama setahun, yang biasanya dihitung ulang dan dilaporkan paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut.

Bagaimanakah bila penerima penghasilan merupakan badan? Bagaimanakah perlakuan hasil pemotongan PPh Pasal 21 yang diperoleh para blogger yang merupakan kredit pajak? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, apabila penulis memiliki waktu luang, penulis akan mencoba untuk menjelaskannya dalam artikel lain.
(c)http://syafrianto.blogspot.com 31052011

Jumat, 27 Mei 2011

Kewajiban Pajak bagi Blogger

"Saat ini blogger tengah dilirik oleh berbagai pihak sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat"

Pendahuluan

Kira-kira demikianlah yang terlihat ketika penulis berkesempatan diundang hadir dalam acara launching produk Operator Seluler "Indosat Mobile" di Hotel Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta tanggal 25 Mei 2011. Dalam acara launching produk ini, peserta yang mendapatkan undangan khusus adalah para jurnalis/wartawan dari media cetak dan media elektronik, anggota komunitas, serta para blogger. Di sini penulis melihat bahwa peran para blogger sebagai media penyampai informasi telah dilirik oleh pihak advertiser (pemasang iklan).

Mengutip sebuah riset yang telah disampaikan oleh seorang pengamat media massa, Hendro D. Laksono (kompas.com 30-12-2010) menyebutkan bahwa selama tahun 2010, belanja iklan di media online meningkat sebesar 400% dan telah mencapai 4% dari total belanja iklan nasional. Padahal di tahun 2009, total belanja iklan di media online hanya mencapai 1,4%. Memang porsi belanja iklan ini belum seberapa jika dibandingkan dengan porsi belanja iklan terbesar yang masih dipegang oleh media elektronik televisi dan radio, kemudian disusul oleh media cetak. Bahkan menurut perkiraan, bahwa kenaikan porsi belanja iklan media online akan naik cukup signifikan dalam waktu 3-5 tahun (diungkapkan oleh Charles Buchwalter, Chief Executive Officer Nielsen Online Japan pada Forum Media Asia Pasifik (APMF) ke-4 di Nusa Dua, Bali 3 Juni 2010.

Apalagi setelah penulis bertemu dengan rekan-rekan blogger yang diundang dari salah satu media penghubung antara advertiser (pemasang iklan) dengan para pemilik blog, idblognetwork.com, maka penulis merasa yakin bahwa prediksi peningkatan pemasang iklan pada media online, terutama blog akan meningkat cukup pesat di tahun-tahun mendatang. Bahkan sekarang ini tidak jarang ada blogger yang dapat hidup hanya dari usahanya mengelola blog mereka. Berdasarkan potensi yang cukup besar yang dapat diperoleh oleh para pemilik blog, maka tidak dapat kita hindari lagi bahwa tentulah ada aspek pajak yang akan timbul, minimal dari penghasilan yang diterima oleh para blogger tersebut. Ketika bertemu dengan Mubarika Darmayanti, salah seorang founder idblognetwork.com penulis sempat berdiskusi mengenai aspek pajak atas blogger, malah Mubarika sangat mengharapkan agar penulis dapat membuat artikel mengenai pajak atas penghasilan blogger. Oleh sebab itu, dalam artikel ini penulis akan mengangkat topik mengenai aspek perpajakan bagi para blogger. Pada artikel ini, penulis hanya akan membahas pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh blogger atas penghasilan yang diperoleh dari pihak penyedia jasa periklanan atas pemasangan iklan di suatu situs/blog yang dalam dunia online lebih dikenal sebagai “adsense”.

Mekanisme Transaksi
Salah satu jenis penghasilan yang banyak diperoleh oleh para blogger adalah penayangan suatu materi iklan pada blog/situs milik blogger yang dikenal dengan istilah “adsense”. Mekanisme transaksi untuk jenis “adsense” ini adalah pihak advertiser sebagai pemilik iklan yang ingin memasangkan iklan pada situs/blog tertentu membayar pihak penyedia jasa periklanan online untuk memasangkan iklannya pada situs/blog yang telah bekerja sama dengan pihak penyedia jasa periklanan online.
Kemudian pihak penyedia jasa periklanan akan memasangkan materi iklan yang telah dipesan oleh advertiser ke sejumlah situs/blog yang telah bekerja sama dengan (terdaftar pada) pihak penyedia jasa periklanan.
Dari hasil penayangan iklan di situs/blog, melalui mekanisme perhitungan penghasilan yang telah ditetapkan dan disepakati oleh pihak advertiser dengan pihak penyedia jasa periklanan, para blogger sebagai pemilik situs/blog (biasa disebut sebagai “publisher”) akan memperoleh bayarannya.

Mekanisme Penghitungan Penghasilan
Biaya pemasangan iklan yang dibebankan kepada advertiser adalah didasarkan pada jumlah banyaknya iklan yang mereka pasang tersebut di suatu situs/blog diakses (klik) oleh pengunjung lain selain pemilik situs/blog. Umumnya advertiser harus membayar sejumlah uang untuk pasang iklan berdasarkan paket berapa kali diakses oleh pengunjung. Apabila jumlah diakses oleh pengunjung ini telah mencapai batas, maka iklan dari advertiser tersebut tidak akan ditayangkan di situs/blog target pasang iklan.
Sedangkan penghasilan dari pemilik situs/blog atas iklan yang ditayangkan di situs/blognya tersebut adalah berdasarkan banyaknya pengunjung berbeda yang telah mengakses iklan tersebut.

Aspek Perpajakan Bagi Penyedia Jasa Periklanan Online

1. Kewajiban Memotong Pajak

Kewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas pembayaran penghasilan yang dibayarkan kepada pemilik situs/blog. Umumnya pemilik situs/blog adalah orang pribadi. Maka atas penghasilan yang dibayarkan kepada para pemilik situs/blog sebagai orang pribadi akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan PER-57/PJ/2009 menegaskan bahwa Pemberi Kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai, wajib memotong PPh Pasal 21.
Jika kita simak bunyi dari Pasal ini, maka dapat kita simpulkan bahwa atas pemberi kerja (dalam hal ini pihak penyedia jasa periklanan) yang membayarkan pembayaran sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi bukan pegawai (dalam hal ini adalah para blogger yang memperoleh penghasilan atas iklan yang diakses melalui blog/situs mereka), diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada para blogger tersebut.

2. Tarif PPh
Besarnya tarif PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pihak penyedia jasa periklanan atas pembayaran penghasilan kepada para blogger orang pribadi dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh atas jumlah kumulatif 1 (satu) tahun kalender dari penghasilan kena pajak bagi bukan pegawai yang diterima secara berkesinambungan.
Penghasilan kena pajak yang diterima bukan pegawai yang diterima secara berkesinambungan adalah sebesar 50% dari dari jumlah penghasilan bruto. Sedangkan besarnya tarif Pasal 17 UU PPh adalah:
  1. Penghasilan sampai dengan Rp 50 juta, tarif PPhnya 5%
  2. Penghasilan di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 250 juta, tarif PPhnya 15%
  3. Penghasilan di atas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta, tarif PPhnya 25%
  4. Penghasilan di atas Rp 500 juta, tarif PPhnya 30%

3. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Yang Harus Dipotong atas Penghasilan Blogger
Shandy Sundoro adalah seorang blogger yang terdaftar sebagai member di idblognetwork.com dan merupakan Publisher. Selama tahun 2011, blog milik Shandy Sundoro mendapatkan iklan untuk diterbitkan dari para advertiser melalui idblognetwork.com. Atas iklan-iklannya tersebut, Shandy mendapatkan penghasilan sebagai berikut:
  1. Januari 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 40 juta
  2. Februari 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 70 juta
  3. Maret 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 180 juta
Maka Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork.com ketika membayarkan penghasilan kepada Shandy setiap bulannya adalah:

a. Januari 2011
Penghasilan Rp 40 juta
Penghasilan Kena Pajak (PKP)= 50% x Rp 40 juta = Rp 20 juta
PPh Pasal 21 = 5% x Rp 20 juta (tarif 5% karena akumulasi PKP mulai awal 2011 masih di bawah Rp 50 juta).
Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork untuk pembayaran penghasilan bulan Januari 2011 adalah sebesar Rp 1 juta.

b. Februari 2011
Penghasilan Rp 70 juta
Penghasilan Kena Pajak (PKP)= 50% x Rp 70 juta = Rp 35 juta
Akumulasi Penghasilan Kena Pajak: Januari: Rp 20 juta; Februari: Rp 35 juta. Sehingga total akumulasi selama 2 bulan adalah Rp 55 juta (sudah melampaui lapisan pertama dari tarif PPh Pasal 17).
Sehingga perhitungan PPh Pasal 21 =
-5% x Rp 30 juta = Rp 1.500.000
-15% x Rp 5 juta = Rp 750.000
Total PPh Pasal 21 = Rp 1.500.000 + Rp 750.000 = Rp 2.250.000

Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork untuk pembayaran penghasilan bulan Februari 2011 adalah sebesar Rp 2.250.000.

c. Maret 2011
Selanjutnya silakan kepada para Pembaca Setia Tax Learning, cobalah hitung besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork.com atas pembayaran penghasilan kepada Shandy untuk bulan Maret 2011. Jawaban boleh diposting di bawah ini.

Potongan PPh Pasal 21 ini adalah merupakan kredit pajak sebagai pengurang PPh terutang untuk seluruh penghasilan yang diterima oleh blogger tersebut selama setahun, yang biasanya dihitung ulang dan dilaporkan paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut.

Apabila penulis memiliki waktu luang, penulis akan mencoba untuk menjelaskan mengenai kewajiban pajak yang harus dilakukan oleh blogger setelah mendapatkan penghasilan dan potongan PPh Pasal 21 dari Penyedia Jasa Periklanan ini.
(c)http://syafrianto.blogspot.com 31052011

Selasa, 01 Februari 2011

Lokasi Drop Box untuk Lapor SPT Tahunan di Tahun 2011

Saat ini hingga tanggal 30 April 2011, para Wajib Pajak kembali disibukkan dengan kegiatan rutinitas yaitu kewajiban untuk melaporkan SPT Tahunan PPh (baik bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan) tahun pajak 2010. Bagi Wajib Pajak orang pribadi, batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh adalah tanggal 31 Maret 2011 (jatuh pada hari Kamis). Sedangkan untuk Wajib Pajak badan, batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh adalah tanggal 30 April 2011 (jatuh pada hari Sabtu).

Seperti tahun lalu, penyampaian SPT Tahunan PPh untuk tahun ini dapat disampaikan oleh Wajib Pajak melalui lokasi-lokasi yang telah disediakan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak di seluruh Indonesia, yang dinamai sebagai drop box. Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Tahunan PPh-nya melalui drop box yang disediakan di mana saja di seluruh Indonesia.

Untuk memberikan informasi kepada para Pembaca Setia Tax Learning, berikut penulis coba kumpulkan data alamat lokasi drop box di seluruh Indonesia. Penulis sangat mengharapkan apabila ada di antara penulis yang memiliki alamat lokasi drop box yang belum tercantum dalam blog ini, untuk dapat menyumbangkan informasinya tersebut. Semoga informasi ini dapat berguna bagi para Pembaca sekalian.

LOKASI DROP BOX TAHUN 2011:

- Nanggroe Aceh Darussalam
- Jakarta Timur
- Jakarta Barat
- Jakarta Selatan
- Jakarta Utara
- Jakarta Pusat
Lokasi di seluruh Indonesia, update hingga 16 Februari 2011

Minggu, 02 Januari 2011

Lokasi Drop Box Kanwil DJP Jakarta Timur





LOKASI MOBIL PAJAK KELILING/POJOK PAJAK/DROP BOX
KANWIL DJP JAKARTA TIMUR TAHUN 2011




NO TANGGAL LOKASI/TEMPAT/ALAMAT KPP TERKAIT
1. 18-Jan-11 RS Persahabatan KPP Pratama Jakarta Pulogadung
2. 20-Jan-11 RS Persahabatan KPP Pratama Jakarta Pulogadung
3. 25-Jan-11 RS Mitra Keluarga KPP Pratama Jakarta Jatinegara
4. 27-Jan-11 RS Mitra Keluarga KPP Pratama Jakarta Jatinegara
5. 01-Feb-11 RS Haji Pondok Gede KPP Madya Jakarta Timur
6. 02-Feb-11 RS Haji Pondok Gede KPP Madya Jakarta Timur
7. 08-Feb-11 RS POLRI KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
8. 09-Feb-11 RS POLRI KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
9. 10-Feb-11 RS POLRI KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
10. 15-Feb-11 RS UKI KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
11. 16-Feb-11 RS UKI KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
12. 17-Feb-11 RS UKI KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
13. 22-Feb-11 UNJ KPP Pratama Jakarta Pulogadung
14. 23-Feb-11 UNJ KPP Pratama Jakarta Pulogadung
15. 24-Feb-11 UNJ KPP Pratama Jakarta Pulogadung
16. 01-Mar-11 IBN KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
17. 02-Mar-11 IBN KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
18. 03-Mar-11 IBN KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
19. 08-Mar-11 GRAMEDIA KPP Pratama Jakarta Matraman
20. 09-Mar-11 GRAMEDIA KPP Pratama Jakarta Matraman
21. 10-Mar-11 GRAMEDIA KPP Pratama Jakarta Matraman
22. 15-Mar-11 PGC KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
23. 16-Mar-11 PGC KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
24. 17-Mar-11 PGC KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
25. 22-Mar-11 INDOMOBIL KPP Madya Jakarta Timur
26. 23-Mar-11 INDOMOBIL KPP Madya Jakarta Timur
27. 24-Mar-11 INDOMOBIL KPP Madya Jakarta Timur
28. 29-Mar-11 TAMINI SQUARE KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
29. 30-Mar-11 TAMINI SQUARE KPP Pratama Jakarta Kramat Jati
30. 31-Mar-11 TAMINI SQUARE KPP Pratama Jakarta Kramat Jati




Informasi lebih lanjut, hubungi:
Bidang P2HUMAS
Kanwil DJP Jakarta Timur
TELP (021) 2525613(sekre),2525614

Senin, 06 September 2010

Batas Waktu Setor dan Lapor Pajak Bulan September 2010, Apa Ada Toleransi?

Hari Raya Idul Fitri 1431 H (Lebaran) yang jatuh pada hari Jumat tanggal 10 September 2010, adalah bertepatan dengan batas waktu setoran PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26 dan PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 15) untuk masa Agustus 2010. Bahkan pada hari Kamis tanggal 9 September 2010 telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai hari Cuti Bersama (demikian juga hari Senin tanggal 13 September 2010), sehingga sebagian besar pelaku bisnis di Indonesia akan meliburkan kegiatan perekonomiannya mulai tanggal 9 September 2010 hingga tanggal 13 September 2010.

Oleh sebab itu, praktis waktu yang tersedia bagi para Wajib Pajak maupun orang-orang yang diserahi tugas oleh perusahaannya untuk menangani kewajiban perpajakan perusahaan tersebut dalam memenuhi kewajiban pajak jenis ini sebelum Lebaran tinggal 2 (dua) hari, yaitu besok dan lusa. Tentunya bagi Anda yang memiliki tanggung jawab ini, harus segera menyelesaikan tugas ini supaya pada saat libur Lebaran nanti, Anda dapat berlibur dengan tenang tanpa harus khawatir dengan kemungkinan terlambat menyetorkan pajak sehingga akan dikenakan sanksi bunga atas keterlambatan setor sebesar 2% per bulan dari pokok pajak yang kurang bayar.

Namun bagaimanakah jika ternyata dalam 2 (dua) hari, jumlah pajak yang harus disetorkan masih belum dapat dihitung, sehingga Anda masih belum dapat menyetorkan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26 dan PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 15) tepat sebelum libur Lebaran? Apakah setoran yang dilakukan setelah Libur Lebaran nantinya sudah dianggap terlambat dan akan dikenakan sanksi?

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 ditegaskan bahwa:

"Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya."

Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010, menegaskan bahwa Hari libur nasional yang dimaksud ini adalah termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Dengan demikian, apabila tanggal jatuh tempo penyetoran pajak jatuh pada hari libur, maka penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Oleh sebab itu, untuk kewajiban penyetoran PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26 dan PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 15) masa Agustus 2010 yang jatuh temponya pada tanggal 10 September 2010 ini ternyata jatuh pada hari Libur Nasional, sehingga setoran ini dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah libur Nasional tersebut, yaitu pada hari Selasa tanggal 14 September 2010 (karena hari Senin tanggal 13 September 2010 juga bertepatan dengan cuti bersama).

Jadi, para Pembaca sekalian, tidak perlu khawatir lagi, apabila sampai dengan hari Rabu sore tanggal 8 September 2010 masih belum dapat memenuhi tenggat waktu penyetoran pajak jenis ini, maka setoran dapat dilakukan pada tanggal 14 September 2010.

Akhirnya Penulis mengucapkan selamat berlibur panjang, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1431 H bagi para Pembaca yang merayakannya. Mohon maaf Lahir dan Batin. Serta, selamat menjalankan kewajiban perpajakan Anda.

Artikel Sejenis:
9 April 2009 adalah Hari Libur Nasional

Kamis, 26 Agustus 2010

Perhitungan PPh Pasal 21 untuk THR

Lebaran sebentar lagi…
Dua minggu lagi, umat Islam di seluruh dunia akan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1431 H atau yang kita kenal sebagai Lebaran.

Sesuai ketentuan ketenagakerjaan di Indonesia, dalam rangka menyambut datangnya hari raya keagamaan (seperti Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal, Hari Raya Imlek, dan hari raya keagamaan bagi pemeluk agama lainnya) setiap pemberi kerja wajib memberikan imbalan berupa bonus yang biasa diistilahkan sebagai Tunjangan Hari Raya (THR). Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan. Menyambut Hari Raya Idul Fitri tahun 2010 ini, pada Selasa 24 Agustus 2010 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar telah mengeluarkan surat edaran, yang menginstruksikan kepada perusahaan, maksimal H-7 sebelum lebaran, harus telah membayarkan THR kepada para pekerjanya.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja tersebut, mewajibkan pengusaha untuk memberikan THR keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja tiga bulan atau lebih secara terus-menerus. Berdasarkan peraturan itu, besarnya THR pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 12 bulan atau lebih mendapat THR minimal satu bulan gaji. Sedangkan pekerja/buruh yang bermasa kerja tiga bulan hingga kurang dari 12 bulan, mendapat THR proporsional, yaitu dengan menghitung masa kerja yang sedang berjalan dibagi 12 bulan lalu dikali satu bulan upah.

Dari sisi perpajakan, pemberian THR/bonus ini menjadi objek pemotongan PPh Pasal 21 yang wajib dilakukan oleh pemberi kerja sebagai pemotong PPh Pasal 21.


Pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh pegawai/karyawan/pekerja berupa bonus/THR ini dapat kita bedakan menjadi 2 (dua) metode pengenaan, yaitu pengenaan PPh Pasal 21 atas bonus/THR yang:
1. diterima oleh pegawai/karyawan/pekerja pada pemberi kerja swasta,
2. diterima oleh pegawai negeri sipil/militer.

1. Pengenaan PPh Pasal 21 atas bonus/THR yang diterima pegawai swasta

Dalam ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21/26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 mengatur mengenai tata cara penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas pemberian THR/bonus ini.

Dalam ketentuan Peraturan Dirjen Pajak ini, pemotongan PPh Pasal 21 terhadap penghasilan yang diterima pegawai/pekerja, kita mengenal ada 2 jenis pegawai, yaitu Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap.

Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima Pegawai Tetap, metodenya lebih rumit dibandingkan dengan Pegawai Tidak Tetap. Karena penghasilan yang diterima oleh Pegawai Tetap ini dibagi menjadi 2 jenis penghasilan, sebagaimana diatur dalam Pada Pasal 1 angka 15 dan angka 16, yaitu:
-Penghasilan Pegawai Tetap yang bersifat Teratur, yaitu penghasilan bagi pegawai berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur (walaupun nilainya berfluktuatif setiap masanya).
-Penghasilan Pegawai Tetap Yang Bersifat Tidak Teratur, yaitu penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun.

Penghitungan PPh Pasal 21 atas pemberian bonus/THR, sebagai penghasilan yang bersifat tidak teratur ini dijelaskan dalam Lampiran PER-31/PJ/2009 angka Romawi I angka 1 huruf b, yaitu: Apabila kepada pegawai tetap diberikan jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, premi, tunjangan hari raya, dan penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali setahun, maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara sebagai berikut :
a. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
b. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
c. selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan huruf b adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.

Cara penghitungan PPh Pasal 21 yang dijelaskan dalam PER-31/PJ/2009 ini adalah:

Karyawati Ken Prameswari (tidak kawin) bekerja pada PT Prabu Kedaton dengan memperoleh gaji sebesar Rp 2.750.000,00 sebulan. Perusahaan ikut dalam program jamsostek. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dan Iuran Jaminan Hari Tua dibayar oleh pemberi kerja setiap bulan masing-masing sebesar 1,00%, 0,30% dan 3,70% dari gaji. Prameswari membayar iuran Pensiun Rp 50.000,00 dan iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji untuk setiap bulan. Dalam tahun berjalan dia juga menerima bonus sebesar Rp 4.000.000,00

Cara menghitung PPh Pasal 21 atas bonus, terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu sebagai berikut :
a. PPh Pasal 21 atas Gaji dan Bonus (penghasilan setahun):

Gaji setahun (12 x Rp 2.750.000,00)
Bonus
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
12xRp 27.500,00
Premi Jaminan Kematian
12 x Rp 8.250,00

Rp 33.000.000,00

Rp 4.000.000,00

Rp 330.000,00
Rp 99.000,00
Penghasilan bruto setahun
Rp 37.429.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 37.429.000,00=
2. Iuran pensiun setahun
12 x Rp 50.000,00=
3. Iuran Jaminan Hari Tua 12 x Rp 55.000,00=


Rp 1.871.450,00

Rp 600.000,00


Rp 660.000,00








Rp 3.131.450,00
Penghasilan neto setahun
Rp 34.297.550,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Dibulatkan

Rp 18.457.550,00
Rp 18.457.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 18.457.000,00 =

Rp 922.850,00

b PPh Pasal 21 atas Gaji Setahun
Gaji setahun (12xRp 2.750.000,00) =
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 12 x Rp 27.500,00 =
Premi Jaminan Kematian
12 x Rp 8.250,00 =




Rp 33.000.000,00

Rp 330.000,00

Rp 99.000,00
Jumlah
Rp 33.429.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 33.429.000,00=
2. Iuran pensiun setahun
12 x Rp 50.000,00=
3. Iuran Jaminan Hari Tua
12 x Rp 55.000,00=

Jumlah


Rp 1.671.450,00

Rp 600.000,00

Rp 660.000,00







Rp 2.931.450,00
Penghasilan neto setahun =
Rp 30.497.550,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Pembulatan

Rp 14.657.550,00
Rp 14.657.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 14.657.000,00=

Rp 732.850,00

c PPh Pasal 21 atas Bonus

PPh Pasal 21 atas Bonus adalah :

Rp 922.850,00 - Rp 732.850,00 = Rp 190.000,00


Apabila pada unsur penghasilan rutin (Penghasilan Gaji, Tunjangan-tunjangan, termasuk juga uang lembur) terjadi adanya fluktuasi besarnya penghasilan setiap bulan, perhitungan di atas tetap dilakukan dengan mengambil nilai real yang dibayarkan pada bulan ketika dibayarkan juga bonus.

2. Pengenaan PPh Pasal 21 atas bonus/THR yang diterima Pegawai Negeri Sipil/Militer

Apabila Pegawai Negeri Sipil (PNS)/TNI/POLRI menerima THR atau bonus yang pembayarannya berasal dari APBN atau APBD, cara pengenaan PPh Pasal 21-nya tidak mengacu kepada perhitungan PPh Pasal 21 atas Bonus untuk pegawai swasta seperti di atas. Khusus untuk Pegawai Negeri Sipil/TNI/POLRI yang menerima THR atau bonus ini, ketentuan yang mengatur mengenai pengenaan PPh Pasal 21-nya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Dan Para Pensiunan Atas Penghasilan Yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara Atau Keuangan Daerah.

Pada Pasal 1 ayat (2) ditegaskan bahwa atas penghasilan yang diterima Pejabat Negara,Pegawai Negeri Sipil, anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Pensiunan berupa honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah selain penghasilan sebagaimana disebut pada ayat (1), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, kecuali yang dibayarkan kepada Pegawai Negeri Sipil golongan II/d ke bawah dan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang ini ditanggung pemerintah.

Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong atas pembayaran honorarium dan imbalan lainnya ini menurut Pasal 2 ayat (2) adalah sebesar 15% dan bersifat final.

Berdasarkan ketentuan ini, maka apabila seorang PNS/TNI/POLRI yang memiliki golongan III/a ke atas menerima THR (dikategorikan sebagai honorarium dan imbalan lainnya), akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final sebesar 15% dari Penghasilan Bruto bonus/THR tersebut.

Selasa, 12 Januari 2010

Ingat: Ada Perbedaan Dalam Melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Desember

Ada perbedaan dalam pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk masa Desember 2009 ini. Perbedaan tersebut terletak pada saat menghitung dan melaporkan penghasilan bruto dan PPh terutang atas setiap pegawai dan lampiran SPT yang harus disampaikan.

Dalam melaporkan dan menghitung penghasilan bruto pegawai pada masa Desember ini, jumlah penghasilan bruto yang dilaporkan adalah seluruh jumlah penghasilan bruto yang diterima oleh pegawai di pemberi kerja yang bersangkutan sejak periode Januari 2009 s.d. Desember 2009, demikian juga dengan nilai PPh-nya adalah PPh yang sesungguhnya terutang atas penghasilan yang diterima pegawai yang bersangkutan sejak periode 1 Januari 2009 s.d. 31 Desember 2009.

Jadi penghitungan dan pelaporan PPh Pasal 21 untuk masa Desember 2009 ini sebenarnya mirip dengan penghitungan dan pelaporan PPh Pasal 21 yang dahulu kita lakukan ketika sedang mengisi dan melaporkan SPT Tahunan PPh Pasal 21.

Sejak tidak digunakan lagi pelaporan SPT Tahunan PPh Pasal 21, maka penghitungan rampung atas PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima oleh pegawai dilakukan pada bulan Desember. Sehingga dalam melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk masa Desember, ada formulir SPT tambahan yang perlu juga dilaporkan oleh Wajib Pajak. Pembahasan mengenai jenis-jenis formulir yang harus dilaporkan ini pernah dibahas oleh Penulis dan dapat dibaca di sini.

Namun untuk mempertegas dan mengingatkan kepada para Pembaca Setia Tax Learning, maka berikut Penulis sajikan lagi formulir SPT yang harus dibuat dan dilaporkan untuk masa Desember ini adalah:
- Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 (Formulir 1721) – Induk SPT
- Formulir 1721 – I. Sumber data untuk mengisi Formulir 1721 – I ini adalah berasal dari Formulir 1721-A1 atau 1721-A2, namun formulir 1721-A1 atau 1721-A2 ini hanya perlu diserahkan kepada masing-masing pegawai terkait tanpa perlu dilaporkan ke kantor pajak.

Sebagai tambahan:

Jika ada Pegawai Tetap yang keluar dan/atau masuk ke pemberi kerja dan/atau ada pegawai yang baru memiliki NPWP, maka pemberi kerja perlu juga melaporkan Formulir 1721 – II.

Sedangkan jika ada pegawai tidak tetap (sebagaimana yang disebutkan pada Bagian B angka 7 s.d. 19 Formulir 1721 dan Bagian C angka 29 dan 30) maka atas masing-masing pegawai tersebut harus dibuatkan serta dilampirkan dalam laporan SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Desember ini yaitu:
-Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Non Final)
-Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Final)
-Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Non Final)
-Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Final)

Maka diingatkan kepada seluruh Pembaca setia Tax Learning, agar janganlah sampai salah dalam melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 masa Desember 2009 yang paling lambat sudah harus dilaporkan pada tanggal 20 Januari 2010, sedangkan jika ada kekurangan bayar PPh-nya, sudah harus dilunasi paling lambat tanggal 11 Januari 2010.
Keterlambatan dalam menyampaikan SPT Masa ini akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00 untuk 1 SPT.

catatan: aturan ini sudah berubah
copyright (c) syafrianto.blogspot.com 12012010

Senin, 09 November 2009

Bagaimana Prosedur Daftar NPWP secara On-line?

Dengan semakin majunya teknologi informasi serta kesibukan yang dialami oleh masyarakat, maka sebagian besar masyarakat Indonesia lebih menyukai pendaftaran NPWP secara on-line. Apalagi sejak lama Direktorat Jenderal Pajak telah membuat suatu sistem pendaftaran NPWP secara on-line yang dikenal dengan program e-Registration. Namun banyak pertanyaan dari masyarakat seputar bagaimana prosedur pendaftaran NPWP melalui program e-Registration ini. Salah satu pertanyaan yang diterima Penulis adalah sebagai berikut:
Pertanyaan:
Pak saya mau nanya,setelah kita registrasi online dan mengirimkan berkas kita ke KPP yang ditunjuk menggunakan POS. Bagaimana kita mengetahui kalau NPWP kita sudah terdaftar dan bukan NPWP sementara lagi. Bagaimana saya mendapatkan kartu NPWP itu bila kita mengirimkan lewat POS. Terimakasih.

Jawab:

Dasar aturan: Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 24/PJ/2009 tanggal 16 Maret 2009 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2009 tanggal 16 Maret 2009.
Dalam ketentuan ini ditegaskan mengenai ketentuan pendaftaran NPWP dan Pengukuhan PKP serta melakukan perubahan data (up-dating) secara online melalui program e-Registration. Secara ringkas dapat dijelaskan proses pendaftaran NPWP dan Pengukuhan PKP melalui program e-Registration adalah sebagai berikut:
Prosedur pengajuan permohonan yang dilakukan oleh Wajib Pajak adalah dengan mengisi secara lengkap dan jelas formulir permohonan elektronis pada situs pendaftaran NPWP secara online tanpa harus menyampaikan hardcopy data pendukung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana Wajib Pajak seharusnya terdaftar. Setelah Wajib Pajak mengisi secara lengkap seluruh isian pada formulir permohonan elektronis tersebut, Wajib Pajak dapat mencetak sendiri formulir permohonan serta Surat Keterangan Terdaftar Sementara (SKTS) yang diterbitkan dari sistem e-Registration ini. SKTS ini berlaku terhitung sejak permohonan melalui sistem e-Registration dilakukan sampai dengan diterbitkannya Surat Keterangan Terdaftar (SKT) oleh KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, dan hanya berlaku untuk pembayaran, pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain serta tidak dapat dipergunakan untuk kegiatan lain di luar bidang perpajakan yang bersifat sementara.
Penerbitan SKT, Kartu NPWP dan/atau Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SPPKP) harus dilakukan oleh KPP paling lama 1 (satu) hari sejak informasi permohonan melalui sistem e-Registration diterima KPP sepanjang permohonan tersebut diisi secara lengkap. Dalam hal proses penerbitan NPWP dan/atau PKP telah selesai, Wajib Pajak dikirimkan notifikasi (pemberitahuan) melalui Sistem e-Registration ke alamat e-mail Wajib Pajak yang telah diisikan pada saat pengisian formulir permohonan e-Registration tersebut. SKT, kartu NPWP dan/atau SPPKP ini akan disampaikan/dikirimkan langsung kepada Wajib Pajak.
Selanjutnya setelah diterbitkan SKT dan Kartu NPWP, maka pihak KPP akan melakukan konfirmasi lapangan untuk membuktikan kebenaran pengisian formulir melalui sistem e-Registration tersebut paling lama 1 tahun setelah diterbitkannya NPWP dan SKT dan/atau SPPKP dengan prioritas sesuai tingkat risiko Wajib Pajak. Pada saat konfirmasi lapangan ini, petugas dari KPP akan meminta dokumen yang digunakan untuk mengisi e-Registration tersebut kepada Wajib Pajak. Apabila hasil konfirmasi lapangan ini ditemukan adanya ketidakbenaran data yang digunakan untuk pendaftaran tersebut, maka pihak KPP dapat mencabut SKT, NPWP atau SPPKP. Surat Pencabutan ini akan diumumkan dalam website www.pajak.go.id dan kepada Wajib Pajak akan dikirimkan notifikasi (pemberitahuan) melalui sistem e-Registration.


Selasa, 07 April 2009

Angsuran PPh Pasal 25

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), dikenal adanya satu sistem pembayaran Pajak Penghasilan yang dilakukan di awal tahun pajak, sebelum suatu penghasilan yang menjadi objek pajak dapat ditentukan (baca: dihitung). Sistem ini diatur dalam Pasal 25 UU PPh. Pembayaran pajak yang diatur dalam pasal ini (biasanya diistilahkan sebagai PPh Pasal 25) akan diperlakukan sebagai pembayaran pajak di muka dan akan diperhitungkan sebagai kredit pajak pengurang atas PPh terutang yang dihitung pada akhir tahun pajak.
Rumus untuk menentukan besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh Wajib Pajak (baik orang pribadi maupun badan) setiap bulannya dalam tahun berjalan adalah besarnya PPh terutang tahun pajak sebelumnya (PPh terutang tahun berjalan diasumsikan akan sama dengan PPh terutang tahun sebelumnya) dikurangi dengan kredit pajak yang telah dipotong oleh pihak ketiga (yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24 dan PPh Pasal 26) dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak (berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU PPh).
Bagaimanakah cara penghitungan PPh Pasal 25 menurut ayat ini, apalagi jika kita melihat bahwa ada beberapa perubahan di tahun 2009 ini jika dibandingkan dengan ketentuan tahun 2008? Artikel terkait mengenai perhitungan PPh Pasal 25 di tahun 2009 ini pernah dibahas dalam artikel ini. Namun dalam artikel tersebut tidak dijelaskan bagaimana perlakuannya untuk kredit pajak yang dipotong oleh pihak ketiga. Khusus untuk kredit pajak yang dipotong oleh pihak ketiga yang juga telah mengalami perubahan tarif di tahun 2009 ini (misalkan PPh Pasal 21 yang ada perubahan PTKP dan tarif PPh; PPh Pasal 23 yang ada perubahan tarif), maka dalam perhitungan angsuran PPh Pasal 25, juga harus menyesuaikan perhitungan kredit pajak berdasarkan tarif yang berlaku di tahun 2009.
PPh Pasal 25 ini harus disetorkan oleh Wajib Pajak paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya (misalkan untuk masa Januari, maka harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari) serta dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (misal untuk masa Januari, maka paling lambat lapor adalah tanggal 20 Februari).
Apakah perhitungan PPh Pasal 25 ini berlaku mulai bulan Januari 2009?
Lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat (2) UU PPh, ditegaskan bahwa besarnya angsuran pajak (PPh Pasal 25) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu SPT Tahunan PPh disampaikan besarnya adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu (= bulan Desember tahun sebelumnya).
Kapankah yang dimaksud sebagai bulan-bulan sebelum batas waktu SPT Tahunan PPh disampaikan?
Dengan adanya perbedaan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh antara orang pribadi dengan badan di tahun 2009 ini, menyebabkan perlakuan Pasal 25 ayat (2) UU PPh ini akan berbeda untuk orang pribadi dan badan.
Untuk tahun pajak 2009 ini, batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh orang pribadi tahun pajak 2008 adalah tanggal 31 Maret 2009. Oleh sebab itu, untuk PPh Pasal 25 masa Januari 2009 (yang harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari 2009) dan masa Februari 2009 (yang harus disetor paling lambat tanggal 15 Maret 2009) batas waktu pelaporannya adalah sebelum batas waktu SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008 disampaikan, sehingga tidak dapat dihitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 dengan menggunakan Pasal 25 ayat (1) UU PPh. Maka untuk kedua masa ini, dasar untuk menetapkan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus disetorkan adalah berdasarkan setoran untuk masa Desember 2008).
Bagaimanakah dengan Wajib Pajak badan yang sebagaimana kita ketahui bahwa batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan mulai tahun pajak 2008 adalah tanggal 30 April 2009. Untuk Wajib Pajak badan, selain PPh Pasal 25 masa Januari 2009 dan masa Februari 2009 yang angsurannya tetap menggunakan angsuran berdasarkan masa Desember 2008, untuk masa Maret 2009 (yang harus disetorkan paling lambat tanggal 15 April 2009 dan batas penyetorannya ini masih sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh badan) PPh Pasal 25-nya juga mengikuti besarnya angsuran masa Desember 2008.
Barulah untuk setoran PPh Pasal 25 masa April 2009, Wajib Pajak badan harus menyesuaikannya berdasarkan perhitungan pada angsuran Pasal 25 ayat (1).

Artikel Terkait:
Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2009